Aku masih sangat ingat bagaimana pertamakali aku mengenalmu. Hingga sampai sejauh ini, kita saling menemukan keunikan dalam diri masing-masing.
Lambat laun aku tahu siapa kamu. Kamu tahu siapa aku. Semua berproses. Mengalir begitu saja. Hingga tanpa kita sadari, kedekatan mengundang praduga berlebihan.
Aku tidak pernah menyesal pernah mengenalmu. Tapi entah apa yang kamu rasakan. Aku justru sangat bahagia. Aku merasa dilindungi olehmu.
Saat aku rapuh. Kamu selalu berusaha menguatkanku. Saat aku menangis. Kamu selalu berusaha agar aku selalu tersenyum.
Saat aku menangis. Kamu selalu menghiburku. Tapi saat kamu sedih, kamu mungkin lebih memilih memendamnya. Hanya karena takut membebaniku.
Terlepas dari semua itu. Aku menemukan kenyamanan dari sorot matamu. Aku menemukan kamu seutuhnya. Meski belum menjelma menjadi pertemuan.
Aku mengerti. Kamu punya hati. Dan kamu mulai membuka hati untukku. Kamu punya rasa berbeda sejak saat itu. Aku pun menanggapi dan memaklumi. Sebab aku pun bahagia dengan semua itu.
Dear, kamu. Aku tidak ingin semua dijadikan sebagai permainan. Ini masalah hati. Kamu harus jujur pada dirimu sendiri. Ungkapkan apa yang sebenarnya kamu rasakan. Jangan bebani hatimu dengan hal yang tidak pasti.
Kamu boleh jatuh cinta padaku. Tapi di sisi lain. Kamu harus memikirkan seseorang yang juga kamu cintai. Jika aku menerimamu, secara tidak langsung, aku telah menyakiti perasaan seseorang.
Apa kamu punya adik perempuan? Apa kamu tega jika adikmu diperlakukan seperti itu?
Dear, kamu. Aku diam bukan berarti aku tidak punya hal yang bisa kujelaskan padamu. Jauh dari dalam lubuk hatiku. Aku ingin menjelaskannya padamu.