Indonesia adalah negara maritim dengan wilayah perairan lebih luas dari daratannya. Indonesia mempunyai kurang lebih 17.499 pulau, dengan garis pantai sepanjang 81.000 km (terpanjang kedua setelah Kanada). Selain itu, Indonesia juga memiliki laut dan selat yang dijadikan sebagai alur transportasi baik nasional maupun internasional. Indonesia mempunyai kekayaan sumber daya kelautan dan perikanan yang melimpah dan dapat menjadi senjata utama untuk mendukung pembangunan nasional. Pembangunan kelautan dan perikanan tersebut dilaksanakan untuk mewujudkan 3 (tiga) misi utama, yakni: (1) kedaulatan (sovereignity), (2) keberlanjutan (sustainability), dan (3) kesejahteraan (prosperity). Namun jika pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan tidak memperhatikan upaya perlindungan terhadap lingkungan akan berdampak ke keberlanjutan dari pemanfaatannya.
Hal inilah yang terjadi di daerah pesisir Demak, dimana terdapat kerusakan pesisir akibat dari adanya konversi lahan. Konversi lahan yang dimaksud adalah yang mulanya lahan hutan mangrove diubah menjadi lahan tambak yang sehingga ketika ombak datang pesisir pantai tergerus dan mengalami abrasi. Untuk mengatasi masalah tersebut perlu adanya konsep pembangunan yang berkelanjutan. Salah satu daerah pesisir yang terdampak adalah daerah pesisir Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah.Â
Kecamatan Sayung mengalami erosi yang parah terhitung sejak tahun 2002 yang mengerosi daerah pesisirnya seluas 145.5 ha. Lalu pada tahun 2005, luas total daerah pesisir yang telah tererosi mencapai 758.3 ha. Berdasarkan hasil penelitian terkait erosi daerah pesisir di Kecamatan Sayung, pada tahun 2003 terjadi erosi 2.24 km, lalu bertambah menjadi 2.58 km di tahun 2009 dan 2.24 km pada tahun 2013. Hal ini juga diperparah dengan pengalihan fungsi lahan hutan bakau yang berguna untuk mengurangi dampak erosi sekaligus menangkap sedimen menjadi daerah budidaya atau tambak oleh warga sekitar.
Pengalihan fungsi lahan yang masif untuk tambak tanpa diikuti dengan perestorasian kawasan hutan bakau, makin memperparah erosi yang terjadi di kawasan tersebut. Satu desa di Kecamatan Sayung telah hilang terendam dan beberapa lahan tambak juga telah rusak. Tak hanya manusia yang terkena dampaknya, ekosistem ikan juga telah hilang bersamaan dengan pengalihan lahan hutan bakau menjadi tambak. Konsep dari Build with Nature ini memiliki prinsip dimana tetap memaksimalkan pemanfaatan daerah pesisir bagi masyarakat sekitar. Tidak seperti pendekatan Hard Structure, pemanfaatan daerah pesisir masih bisa dilaksanakan secara maksimal. Implementasi terhadap konsep hard structure juga dilakukan agar perlindungan yang ditawarkan juga maksimal. Pendekatan ini diambil karena masyarakat sebelumnya juga memanfaatkan daerah pesisir. Pemanfaatan daerah pesisir dengan aquaculture atau tambak telah dilakukan masyarakat di daerah pesisir tersebut. Namun pemanfaatan tersebut tidak memperhatikan lingkungan sekitar yang dibuktikan dengan pengalihan lahan mangrove sebagai budidaya tambak seperti yang telah dijelaskan diatas.
Peninjauan masalah yang dilakukan tidak hanya persoalan erosi saja, namun juga permasalahan pemberdayaan masyarakat karena dalam upaya perlindungan daerah pesisir harus memperhatikan pemberdayaan masyarakat. Upaya pertama yang dilakukan adalah mengajak elemen masyarakat untuk ikut dalam upaya menanggulangi permasalahan erosi.
Selanjutnya, melakukan pembuatan struktur semi-permeable yang berguna untuk menangkap dan menahan sedimen. Setelah struktur semi-permeable dibangun, langkah selanjutnya adalah dengan merestorasi area hutan mangrove. Untuk menambahkan aspek pengembangan sosial masyarakat, restorasi hutan mangrove dikombinasikan dengan pemanfaatan lahan untuk budidaya tambak. Selain itu, ditemukan kasus penurunan muka tanah akibat aktivitas pengembangan daerah industri disekitar lokasi pesisir.
Pasalnya, dengan adanya penurunan muka tanah yang terjadi di daerah pesisir tersebut akan membuat segala upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi permasalahan erosi di daerah pesisir menjadi sia -- sia. Tak hanya daerah pesisir saja yang terkena dampak, melainkan juga daerah persawahan disekitar lokasi pengembangan industri. Permasalahan ini tidak serta merta dapat diselesaikan dengan menunda atau membatalkan perencanaan wilayah industri di Demak. Wilayah Demak juga diketahui memiliki kemajuan yang rendah, atau degradasi dengan wilayah -- wilayah lain. Hal ini yang membuat dilema antara dua kepentingan yang sama pentingnya.
Penurunan muka tanah (land subsidence) merupakan suatu proses gerakan penurunan muka tanah yang didasarkan atas suatu datum tertentu dimana terdapat berbagai macam variabel penyebabnya yang dikaji tertentu menurut pengkajian dengan disiplin ilmu geodesi. (Marfai, 2006). Penyebab -- penyebab terjadinya penurunan muka tanah ini antara lain pembebanan yang terjadi di atas permukaan tanah, penghilangan atau pengambilan isi dari pori -- pori tanah yaitu air dan udara untuk proses pemadatan tanah atau eksploitasi air tanah untuk kebutuhan secara berlebihan, kejadian bencana seperti gempa bumi yang merusak struktur tanah, variabel ketidakstabilan tanah akibat proses -- proses tertentu, dan masih banyak lagi. Pada kasus pembangunan daerah pesisir di Demak adalah proses penurunan tanah secara tidak langsung oleh proses pemadatan tanah yang tanpa melakukan rekayasa tanah terlebih dahulu pada lokasi pembangunan. Daerah yang terjadi peristiwa tersebut umumnya berupa rawa, delta, endapan banjir dimana sangat sesuai dengan kondisi daerah pesisir di Demak.
Menurut Whittaker dan Reddish ada beberapa penyebab dari penurunan muka tanah atau Land Subsidence yang akan dijelaskan pada paragraph ini. Penyebab pertamanya adalah faktor alami yang berupa siklus geologi dan sedimentasi daerah cekungan. Siklus geologi yang disebutkan berupa proses pelapukan atau denuation, pengendapan atau deposition, dan pergerakan dari kerak bumi akibat aktivitas lempeng atau disebut crustal movement. Salah satu faktor lainnya adalah sedimentasi pada daerah cekungan.
Pada daerah cekungan merupakan lokasi terjadinya aktivitas tektonik lempeng, terutama diperbatasan lempeng. Sedimen pada daerah cekungan yang semakin lama semakin menumpuk menyembabkan beban yang bekerja pada lapisan tanah terus meningkat yang disusul dengan kompaksi sedimen sehingga menyebabkan penurunan muka tanah. Penyebab penurunan muka tanah yang kedua adalah akibat adanya pengambilan air tanah atau disebut Groundwater Extraction. Aktivitas pengambilan air tanah ini biasanya dilakukan pada lokasi pengembangan wilayah industri, dimana terdapat banyak sekal pembangunan yang dilakukan dan dilakukan pemadatan tanah dengan menghilangkan air dari pori -- pori tanah. Pengambilan air tanah yang dilakukan secara besar -- besaran pada lapisan akuifer akan berdampak pada wilayah sekitar pembangunan. Kekosongan pori -- pori tanah ini menyebabkan tekanan hidrostatis dibawah permukaan tanah berkurang dan pemampatan lapisan akuifer. Faktor penyebab terjadi penurunan muka tanah selanjutnya adalah akibat beban bangunan atau bisa disebut settlement. Pemampatan tanah bisa terjadi akibat pembebanan yang dikarenakan penambahan beban berupa bangunan diatas permukaan tanah. Pembebanan ini memicu terjadinya pemampatan tanah ini diakibatkan adanya deformasi pada partikel tanah, relokasi partikel, keluarnya air dan/atau udara dari pori -- pori, dan sebab lainnya yang tidak bisa dipisahkan dari keadaan tanah tersebut.
Untuk mengatasi masalah tersebut perlu adanya konsep pembangunan yang berkelanjutan. Dalam hal ini, pembangunan yang dimaksud adalah masyarakat pesisir tetap bisa menikmati sumber daya alam kelautan tanpa merusak ekosistem laut atau bisa disebut dengan building with nature. Building with Nature atau dalam bahasa Indonesia disebut membangun besama alam adalah solusi yang diambil dalam penyelesaian permasalahan erosi pada daerah pesisir utara jawa, atau lebih spesifiknya di wilayah Pesisir Demak agar upaya perlindungan bisa berkelanjutan dan mendapat partisipatif dari masyarakat.