Mohon tunggu...
Brilianta Syafi Muhammad
Brilianta Syafi Muhammad Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Indonesia

Kejarlah Akhirat, Taklukkan Dunia.

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Childfree di Indonesia, mengapa menjadi tren?

19 Desember 2024   10:28 Diperbarui: 19 Desember 2024   10:38 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ilustrasi childfree (Sumber: Afrizal)

Akhir-akhir ini istilah childfree menjadi isu yang semakin banyak diperbincangkan di berbagai kalangan masyarakat, bahkan di berbagai platform media sosial. Selain itu, childfree justru menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan. Singkatnya childfree merupakan sebuah keputusan antara suami dan istri yang memilih untuk tidak memiliki anak setelah menikah. Banyak pasangan modern yang merasa bahwa memiliki anak bukan lagi suatu keharusan dalam pernikahan, melainkan pilihan yang perlu dipertimbangkan secara matang. Keputusan pasangan suami istri untuk memilih menjalani pernikahan tanpa memiliki anak, atau childfree, dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Beberapa diantaranya termasuk kekhawatiran terhadap proses perkembangan dan pertumbuhan anak, pertimbangan finansial, tekanan sosial, kualitas hidup, serta isu global seperti perubahan iklim dan overpopulasi seringkali menjadi alasan utama. Namun, di sisi lain, keputusan childfree sering menghadapi stigma dari masyarakat yang masih berpegang pada nilai-nilai tradisional, di mana memiliki anak dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari keberhasilan pernikahan. Oleh karena itu, fenomena ini memunculkan diskusi yang menarik tentang bagaimana perubahan nilai-nilai dan tantangan zaman memengaruhi pandangan masyarakat terhadap pernikahan dan keluarga.

Seiring berjalannya waktu, norma-norma masyarakat akan terus bergeser dan berubah sesuai dengan permasalahan yang wujud pada kalangan masyarakat. Faktor ekonomi memegang peranan penting dalam keputusan untuk childfree. Biaya tinggi untuk membesarkan anak, bersama dengan kekhawatiran tentang kelebihan populasi dan keberlanjutan lingkungan, mendorong lebih banyak orang untuk mempertimbangkan gaya hidup tanpa anak. Tren ini khususnya terlihat di kalangan generasi muda yang memprioritaskan kebebasan finansial dan tujuan pribadi daripada menjadi orang tua. Dampak lingkungan dari lebih sedikit kelahiran juga menjadi pertimbangan penting, karena banyak yang memandang tidak memiliki anak sebagai pilihan berkelanjutan yang dapat membantu mengurangi perubahan iklim. Tak hanya dari segi ekonomi, semakin banyak orang yang pada masa mudanya memiliki pengalaman buruk saat tumbuh dewasa memilih untuk tidak memiliki anak, menolak untuk melanjutkan siklus kekerasan yang telah mereka lalui. 

Meskipun dampak langsung dari tren childfree mungkin tampak menguntungkan, seperti berkurangnya pengeluaran individu untuk pendidikan dan perawatan kesehatan, terdapat kekhawatiran tentang tantangan demografi pada waktu jangka panjang. Negara-negara yang mengalami penurunan angka kelahiran mungkin menghadapi populasi yang menua dan kekurangan tenaga kerja, yang dapat membebani layanan sosial dan stabilitas ekonomi. Misalnya, Korea Selatan diproyeksikan akan mengalami penurunan populasi yang signifikan karena angka kelahiran yang rendah, sehingga menimbulkan kekhawatiran tentang keberlanjutan tenaga kerja di masa mendatang. Selain Korea Selatan, Jepang pada saat ini juga sedang mengalami penurunan populasi yang sangat signifikan, hingga pemerintahnya pun mulai mengimplementasikan program yang dapat mendukung warganya untuk membangun keluarga ataupun dengan membuka program kepada masyarakat luar negeri untuk bekerja di Jepang dalam rangka meningkatkan tingkat produktivitas.

Di Indonesia, pemerintah melakukan beberapa upaya untuk merespon tren childfree. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan merupakan salah satu pengendalian yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia terhadap tren childfree. UU KIA tersebut mengintroduksi beberapa pengendalian seperti meningkatkan cuti maternitas dari 3 bulan menjadi 6 bulan, Ibu yang memiliki karir juga memiliki hak mendapatkan jasa nutrisi dan kesehatan yang baik serta fasilitas laktasi khusus selama jam kerja, dan suami juga mendapatkan jatah cuti paternitas selama dua hari yang dapat diperpanjang menjadi tiga hari. Menurut Bonivasius Prasetya Ichtiarto, Deputi Deputi Bidang Pengendalian Penduduk di Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), melalui UU KIA tersebut, pemerintah mendukung perempuan merasa nyaman, sehingga perempuan masih bisa menjalankan kehidupan karir dan hidup yang produktif meskipun memiliki anak. Selain itu, terdapat juga program suami SIAGA (Siap, Antar, Jaga). Bonivasius juga menekankan pentingnya peran ayah dalam pengasuhan anak, ia berharap bahwa program suami SIAGA dan UU KIA dapat saling melengkapi satu sama lain.

Berkembangnya isu childfree pada generasi saat ini sedikit banyak disebabkan karena alasan finansial. Tidak siapnya para 'calon orang tua' untuk memenuhi kebutuhan anak mereka di masa depan dengan keadaan ekonomi yang masih belum stabil membuat banyak generasi saat ini memilih untuk tidak memiliki anak setelah menikah. Meningkatnya harga kebutuhan rumah tangga di kondisi ekonomi saat ini, sempitnya lapangan pekerjaan, kurang berpihaknya kebijakan bagi ibu hamil dan melahirkan, ditambah kebutuhan untuk anak dan rencana pendidikan anak, serta tabungan untuk hari tua nanti seakan menjadi momok bagi generasi saat ini, baik yang sudah menikah maupun yang belum menikah. Keputusan untuk childfree juga disebabkan karena pengalaman generasi saat ini yang banyak mengalami menjadi sandwich generation. Alasan mereka memilih untuk childfree agar anak mereka nantinya tidak mengalami kejadian serupa. Pertimbangan lain dari keputusan untuk childfree adalah karena banyak perempuan generasi saat ini juga tidak ingin melepaskan karir yang telah mereka bangun. Meskipun berkarir dan memiliki anak dapat dilakukan, tetapi banyak orang yang merasa kurang mampu untuk melakukan keduanya karena tidak dapat memberikan kasih sayang yang seharusnya kepada sang anak. 

Hadirnya kebijakan dan peraturan bagi para Ibu hamil dan melahirkan menjadi salah satu dari solusi untuk mengatasi isu childfree yang semakin marak. Perluasan lapangan pekerjaan, tidak dibatasinya maksimal pekerjaan seseorang, perbaikan kebijakan ekonomi dari pemerintah, kebijakan pajak yang lebih besar kepada mereka yang mampu, pengendalian harga kebutuhan pokok agar tidak semakin naik, serta kebijakan mengenai perumahan dan properti yang tidak mencekik masyarakat selanjutnya dapat menjadi solusi yang baik jika diterapkan di masa yang akan datang karena tidak sedikit para pasangan yang merasa finansial menjadi hambatan mereka untuk memiliki anak. Tidak jarang banyak orang dan bahkan keluarga ikut berkomentar dan menentang atas keputusan childfree yang telah dibuat, khususnya bagi perempuan karena dianggap belum menjadi 'perempuan seutuhnya' jika belum memiliki anak. Selain itu, banyak pertentangan mengenai childfree dikarenakan hal ini dapat meningkatkan risiko kanker terhadap perempuan. Banyaknya pro dan kontra mengenai pilihan untuk childfree membuat pengambilan keputusan childfree harus dipikir matang-matang terlebih dahulu bersama pasangan dengan bijak dan bertanggung jawab. Lebih awal lagi, sebaiknya sebelum menikah keputusan ini dapat dibicarakan terlebih dahulu dengan calon pasangan. Namun, keputusan untuk childfree tetap menjadi hak bagi semua orang, khususnya bagi perempuan yang akan melahirkan anak tersebut karena tidak ada pilihan yang benar atau salah dalam mengambil keputusan terbaik untuk hidup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun