Bangsa Indonesia sedari dulu santer akan diversitas jenis musiknya. Tren musik yang digandrungi di Indonesia bervariasi dari generasi ke generasi. Mulai dari musik tradisional bernuansa sakral dalam upacara atau ritual adat, musik rakyat untuk pernainan seperti "Cublak-Cublak Suweng" karya Sunan Giri, hingga lahirnya aliran musik lokal baru seperti dangdut. Aneka ragam musik Indonesia ini merupakan warisan budaya yang tak ayal lagi kian tergerus globalisasi dan modernisasi. Salah satu genre musik yang layak kembali mendapat sentralisasi perhatian pecinta musik lokal adalah langgam Jawa. Melalui liriknya yang kaya gaya bahasa dan cara penggambaran cerita yang unik, membuat musik langgam Jawa menarik didalami lebih lanjut. Dengan pengenalan edukasional mengenai aliran musik ini, diharapkan mampu memantik kesadaran, rasa cinta dan turut memiliki terhadap langgam Jawa.
Langgam Jawa merupakan warisan musik tradisional berharga yang mengakar dari corak budaya asli Jawa. Dilihat dari struktur musiknya, langgam Jawa berbagi kemiripan dengan aliran musik keroncong yang memiliki pakem 32 birama, tempo ketukan 4/4, serta rima A-A-B-A (Bagas Wahyu Prasetyo, 2015: v). Mengacu pada Marga Riasetyani Septia (2013), perbedaan menonjol dari kedua genre tersebut yaitu penggunaan tangga nada. Keroncong menggunakan tangga nada diatonis yang tersusun dari 7 nada pokok, Do-Re-Mi-Fa-Sol-La-Si. Sementara langgam Jawa bertangga nada pentatonis dengan 5 nada utama, Do-Re-Mi-Sol-La. Sehingga langgam Jawa hanya bisa diiringi oleh instrumen pentatonis seperti gamelan Jawa. Sedangkan instrumen diatonis pengiring keroncong lebih bervariasi seperti biola, seruling, ukulele, bass, dan cello. Â
Menilik dari kacamata sejarah, langgam Jawa diperkirakan lahir pada periode pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah. Kerajaan yang didirikan oleh Raja Sanjaya pada abad ke-8 Masehi itu sempat mendominasi di bidang maritim dan agraris disebabkan lokasinya yang dialiri banyak sungai. Langgam Jawa terus berkembang hingga abad ke-10 Masehi dengan kekhasan dan elemen-elemen unik dari aliran musik ini yang kian menonjol.Â
Kemudian, memasuki abad ke-13, muncul perkembangan langgam Jawa terintegrasi seiring berdirinya kerajaan Majapahit di Mojokerto, Jawa Timur. Kerajaan ini mencapai puncak keemasan pada masa kepemimpinan Hayam Wuruk. Seni dan budaya khas Jawa dengan pesatnya berkembang. Hal ini dipicu faktor perhatian raja terhadap bidang seni budaya, baik itu kesusastraan, seni rupa, maupun seni musik. Masyarakat juga diberi kebebasan dalam mengembangkan seni budaya sesuai kreativitas tanpa perlu menunggu persetujuan pihak kerajaan Majapahit. Dalam konteks kultural, langgam populer pada era ini adalah "Langgam Majapahit". Musik ini menjadi pengiring pelbagai ritual kerajaan, upacara keagamaan Hindu-Buddha, serta ragam kegiatan berbasis kebudayaan lainnya.Â
Bergeser ke era kolonial, aliran musik langgam Jawa mulai terpapar pengaruh bangsa Barat, salah satunya Fado, musik kerakyatan dari Portugis. Penambahan instrumental musik bertangga nada diatonis melahirkan aliran musik baru yang selanjutnya disebut keroncong. Selain itu, banyak masyarakat Tionghoa datang ke Indonesia untuk berdagang. Mereka lalu menetap dan berbaur dengan masyarakat pribumi, beberapa sampai berkeluarga. Hal ini mengakibatkan akulturasi budaya, tak luput pula di bidang musik. Unsur Tionghoa terlihat dari instrumen musiknya seperti konghayan, tehyan, dan sukong dipadukan dengan gambang dan kromong menjadi orkestra gambang kromong.
Langgam Jawa memiliki lirik yang puitis dan sarat maknawi. Penikmat lagu perlu menelaah terlebih dahulu liriknya guna memaknai isi lagu. Tidak seperti kebanyakan lagu Jawa modern yang telah tercampur bahasa Indonesia dengan makna harfiah. Tanpa kajian mendalam, pendengar pun bisa memahami maksud lagu. Kandungan unsur sastra dalam langgam Jawa tidak lepas akan keterkaitannya dengan "tembang", yakni puisi Jawa klasik yang dilagukan dengan iring-iringan musik tradisional Jawa. Salah satu bentuk tembang adalah "kidung" yang kental dengan unsur Jawa Tengahan. Melalui untaian liriknya, musik langgam Jawa tidak hanya menyuguhkan nilai estetika dan hiburan, namun juga menyelipkan pesan moral dibarengi nilainilai etikal yang berporos pada realita kehidupan.Â
Instrumen pengiring langgam Jawa terdiri dari ragam alat musik tradisional Jawa yang mewarnai kekhasan melodinya. Instrumen tersebut adalah gamelan, perpaduan sejumlah alat musik (ansambel) yang tersusun dari beragam jenis gong (kenong, bonang), metalofon (gender, saron), serta perkusi (kendang). Kenong biasa berpasangan dengan kempul. Keduanya merupakan gong berbentuk kecil dengan suara jernih yang menjaga ritme lagu. Gong berukuran besar disebut gong ageng, penanda pembukaan dan penutupan pertunjukan yang memberikan efek dramatis dari suara tabuhannya. Ada pula kendang alat musik membranofon berlapis kulit sapi yang memberi dinamika serta keteraturan tempo pada musik. Instrumen yang tak kalah penting ialah gender yang bernada menghentak dan cerah. Selain itu, ada instrumen bonang. Terbagi menjadi bonang panerus dan bonang barung. Bonang panerus bernada satu oktaf lebih tinggi dibandingkan bonang barung. Dalam langgam Jawa, terdengar pula melodi seruling, yaitu alat musik tiup dari bambu yang mendayu-dayu. Tak lupa kehadiran siter sebagai instrumen petik penambah sentuhan nuansa elok dan tenang dalam musik langgam Jawa. Perbedaan ukuran, bentuk, dan nada pada ansambel gamelan menjadi penyeimbang harmoni. Melalui diversitas instrumennya, langgam Jawa mampu mengungkapkan emosi yang kompleks nan kaya.Â
Langgam Jawa lebih dari sekadar musik, melainkan bentuk ekspresi budaya yang kuat dan mendefinisikan aspek penting kehidupan masyarakat Jawa. Karenanya, langgam Jawa memiliki fungsi kontekstual bergantung penggunaannya. Dalam upacara bernilai sakral, langgam Jawa membangun kekhusyukan dan kekhidmatan acara. Seperti halnya upacara pernikahan yang diiringi lagu "Nyidam Sari" karya musisi Manthous. Begitu pula ritual keagamaan, contohnya upacara Tetaken di Pacitan yang diiringi langgam Jawa "Gunung Limo". Langgam Jawa juga tak lepas dari seni pertunjukan. Dimulai dari "Gending Sriwijaya" yang kerap digunakan sebagai pembuka wayang kulit, "Gatotkaca Winisuda" dalam seni ketoprak bertemakan epos Mahabharata, "Ladrang" yang muncul dalam ludruk bertema klasik, hingga "Gending Kethuk Tilu" untuk Tari Jathilan yang energik, bersemangat, dan rancak. Di samping itu, langgam Jawa punya esensi menghibur yang mendatangkan kesenangan dan difungsikan dalam acara-acara inforrmal sebagai bagian proses sosialisasi masyarakat.Â