Setiap proses dalam kehidupan, kiranya alam bawa sadar mampu menyadarkan kita, sehingga kita tersadar. Peristiwa yang sekalipun membuat hati dan pikiran menjadi gusar adalah ruang belajar.
Ada suatu kalimat bak mantra magis, sering dikumandangkan baik di jalanan, ruang-ruang pertemuan apalagi dalam bangunan yang dahulu melalui simbolisasi bermakna penghinaan namun kini berarti pembebasan ataupun penyelamatan.
Serapan makna dari bagian kecil kumpulan tulisan yang telah melalui proses Kanonisasi, mengisahkan tentang gambaran awal dan bagaimana dunia akan berakhir, yang oleh etnis Suku Pembudidaya Padi Ladang di dataran Halmahera Barat disebut sebagai Buku Ofi-Ofi, dari situlah suatu semboyan persatuan bagi wadah dengan tiga medan layanan, kalimat yang menjadi tumpuan hidup orang-orang pada medium tersamar , Ut Omnes Unum Sint, begitulah ia disebut dalam tafsiran bahasa yang sering dipakai dalam dunia pendidikan.
Warna biru yang terpampang pada setiap simbol kini seakan tidak biru lagi bahkan mulai membaru dan layu. Banyak hal baru yang terjadi dan yang lama mulai layu.
Ada yang merasa paling benar, ada pula yang merasa paling kuat. Ada yang saling mencurigai, saling menuduh, iri hati dan lain sebagainya yang termasuk dalam kategori daging tak berjiwa.
Kenapa? Mengapa?
Satu dari berbagai sudut pandang tanpa bermaksud memandang untuk menyudutkan adalah karena melompati anak tangga pertama dan terlalu menitikberatkan pada bagian dua dari tiga yang tidak terbagi.
Lupa tentang dari mana dilahirkan.
Pertengkaran dan konflik terjadi oleh dan dari yang mengatasnamakan gerakan berkepala, namun lupa diri akan maksud utama dari Sang Kepala yang mampu menggerakkan semuanya.
Mata hanya melihat apa yang didepan mata, padahal jikalau tidak melompati bagian satu dari tiga yang tidak terbagi dapat dipahami bahwa kecerdasan hati dapat melampaui segala akal.
Cukup sampai disini, jangan lagi! Tulisan ini tak akan berujung jikalau tetap seperti ini!