Pada kolom teknologi New York Times 22 September yang lalu, diulas dengan gamblang bagaimana dunia digital dan internet yang tak pernah tidur, berkontribusi pada polusi dan konsumsi energi yang luar biasa besar. Tak bisa dipungkiri era dunia maya yang semakin memudahkan manusia dalam bentuk apapun, kapanpun dan dimanapun adalah akar masalah dari isu energi dan polusi yang terjadi.
Majalah Times mengungkap keperluan data center untuk hidup setiap saat, dapat menkonsumsi lebih dari 90% listrik dari grid (jala-jala listrik). Dari keseluruhan listrik yang digunakan pada data center hanya 6-12% diantaranya untuk mensuplai komputasi, dan sisanya hanya untuk menjaga server dalam kondisi idle dan standby jika terjadi lonjakan aktivitas tak terduga yang dapat memperlambat atau membuat server crash, termasuk daya untuk sistem pendingin yang tentu juga harus berjalan 24 jam setiap hari.
Diperkirakan di seluruh dunia, diperlukan daya mencapai 30 milyar Watts untuk menghidupi "dunia maya" supaya dapat terus berlangsung, dimana daya sebesar itu setara dengan 30 pembangkit listrik nuklir. Diantaranya data center perusahaan-perusahaan komersial yang memaksa mendekati 100% operasi server mereka seperti perbankan, media sosial, asuransi, media online dan lain sebagainya. Sebut saja raksasa online Google mengkonsumsi daya sekitar 300 mega Watt dan Facebook mencapai 60 mega Watt. Belum lagi kebutuhan data center untuk bursa efek, diperkirakan di Bursa Efek New York, setiap hari sekitar 2 Terrabytes data dihasilkan, dan data tersebut harus disimpan dalam beberapa (puluhan) tahun berikutnya karena terkait rekaman trend dan catatan transaksi saham. Pesatnya peningkatan kebutuhan informasi digital tentu diperkirakan angka-angka fantastis di atas terus bertambah, sedangkan peningkatan teknologi hardware yang memiliki trend menuju teknologi low voltage yang lebih hemat daya, tidak dapat mengimbangi pertambahan kebutuhan energi dan pertumbuhan informasi digital. Explorasi riset di energi alternatif juga masih menghadapi pasang surut, dimana perdagangan dan gejolak minyak di timur tengah masih menjadi tolok ukur harga energi dunia. Fakta ini tentu mengkhawatirkan, namun berjalan mundur dan mematikan informasi digital tentu juga bukan pilihan yang tepat. Hampir semua sendi kebutuhan informasi, ekonomi dan perdagangan, edukasi, komunikasi, politik, sosial (media), dsb bergantung pada sistem digital. Internet banking misalkan, jutaan transaksi setiap hari berlalu lalang di data center perbankan yang bernilai ratusan milyar tentu tak mungkin ditutup hanya karena alasan penghematan energi untuk data center. Sedangkan di dunia jasa internet, target 100% lifetime selalu menjadi misi setiap provider. Bagaimana dengan cloud computing,yang ditawarkan sebagai salah satu solusi menahan laju krisis energi untuk keperluan digital. Propaganda "tak perlu" hardisk menjadi kampanye yang cukup menawan, namun tetap saja cloud juga memerlukan kapasitas penyimpanan hanya berpindah dari devais user ke (lagi-lagi) data center.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H