Di dalam sebuah kelompok yang terdiri dari banyak anggota dengan beragam pemikiran, karakter, dan tentunya sifat membuat adanya konflik dalam kelompok acapkali terjadi. Keharmonisan maupun kedinamisan terkadang menjadi suatu hal yang sulit untuk dicapai mengingat sulitnya untuk menyatukan berbagai pemikiran dari berbagai kepala dengan masing-masing isinya yang rumit. Belum lagi jika berada dalam kondisi berbeda pendapat, rasa gengsi dari setiap individu dapat naik melampaui logika dan perasaann, membuat kedinamisan dalam kelompok kembali terhalang. Adanya konflik atau perbedaab pendapat ini jika dibiarkan terus-terusan terjadi, dapat mengundang kehancuran untuk kelompok itu sendiri. Perlu adanya kesadaran bagi setiap anggota kelompok bahwa perbedaan pendapat itu adalah hal yang sangat wajar terjadi, sehingga masing-masing anggota kelompok yang berselisih pendapat bisa mengesampingkan ego mereka dan dengan rela secara bersama-sama mencari jalan keluar dari perbedaan pendapat itu demi menjaga keharmonisan dalam suatu kelompok.
      Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan konflik itu sendiri? Menurut Hanmer dan Hogan (Suprapti, 2006:32) konflik adalah segala macam bentuk pertikaian yang terjadi dalam organisasi, baik antara individu dengan individu, individu dengan kelompok maupun kelompok yang bersifat antagonis. Berdasarkan pengertian yang telah dinyatakan oleh Hanmer dan Hogan tersebut, dapat disimpulkan bahwa konflik adalah adanya pertikaian atau perkelahian yang terjadi di dalam sebuah perkumpulan manusia, yang terjadi antar individu, maupun dengan kelompok yang terjadi dalam ranah negative. Sehingga, konflik yang terjadi dapat memicu terjadinya kerusakan dalam sebuah kelompok.
      Lantas, apakah tanda-tanda awal terjadinya konflik dalam kelompok yang harus kita sadari sehingga kita dapat mengantisipasi terjadinya kehancuran dalam kelompok. Chan (1999), menjabarkan isyarat dini adanya konflik dalam kelompok menjadi beberapa ciri. Ciri yang pertama adalah timbulnya emosi dari setiap anggota kelompok ketika ia mengemukakan pendapat atau sarannya. Timbulnya ciri yang pertama ini bisa dikatakan adalah penyebab konflik yang sepele namun berbahaya. Emosi bisa disebut sebagai pemantik api yang efektif. Dengan adanya emosi yang muncul dari satu orang saja, anggota kelompok yang lain pun bisa ikut tersulut emosinya, sehingga konflikpun tidak dapat dihindari.
      Ciri yang kedua adalah, adanya anggota kelompok yang memotong atau menyela ketika ada salah seorang anggota kelompok lainnya yang sedang mengemukakan pendapat mereka. Pemotongan yang terjadi dapat memicu konflik dalam kelompok apabila seseorang yang memotong maupun yang dipotong pendapatnya berada dalam keadaan ego yang tinggi. Sehingga mereka merasa dirinya lah yang paling benar dan tidak mau mendengar alasan atau pendapat dari orang lain yang berujung dengan timbulnya konflik dalam kelompok.
      Ciri yang ketiga adalah adanya keadaan di mana anggota kelompok saling menuduh satu sama lain. Kegiatan saling menuduh dapat memicu adanya konflik dalam kelompok dikarenakan anggota kelompok yang berada di posisi tertuduh akan merasa sakit hati ataupun terluka egonya sehingga muncul lah emosi untuk membela dirinya. Sedangkan bagi penuduh, hal ini dapat terjadi akibat hilangnya sebuah kepercayaan sehingga hal itu membuat dirinya menuduh anggota kelompok yang lainnya.
      Ciri yang terakhir adalah adanya keadaan di mana anggota kelompok saling menolak untuk berkompromi dan melakukan penyerangan secara pribadi kepada anggota yang lainnya. Dinamika kelompok dapat terjadi apabila setiap anggota dari sebuah kelompok dengan rela mau diajak untuk berkompromi. Apabila ada anggota yang menolak untuk berkompromi, bagaimana mungkin dinamika dalam sebuah kelompok dapat terjadi? Hal ini dapat memicu adanya konflik dalam kelompok.
      Dengan adanya konflik dalam kelompok sebagaimana telah diuraikan di atas, setiap anggota dalam sebuah kelompok harus memahami bagaimana cara untuk mengatasi adanya konflik dalam kelompok. Menurut Stevenin dalam Handoko (2001: 48), ada lima langkah yang dapat dilakukan untuk memecahkan konflik yang terjadi dalam kelompok.
      Langkah yang pertama adalah pentingnya bagi setiap anggota kelompok untuk mengenali apa yang mendasari konflik tersebut. Sebagai contoh, adanya kesenjangan yang terjadi di dalam sebuah kelompok setidaknya bagi sebuah pihak, sehingga perbedaan pendapat yang memicu konflik tak dapat terelakkan. Dengan mengenali akar permasalahn dari konflik yang terjadi, anggota kelompok dapat memikirkan solusi dari sebuah konflik sebagaimana mestinya. Langkah yang kedua adalah mendiagnosis apa penyebab yang sebenarnya sesuai untuk sebuah konflik yang sedang terjadi. Setelah diagnosis yang tepat telah didapatkan, anggota kelompok bisa mengerti factor apa saja yang menimbulkan konflik yang terjadi, sehingga penanganan lebih lanjut dapat dilaksanakan dengan tepat.
      Langkah selanjutnya yang harus dilakukan oleh setiap anggota kelompok saat terjadi sebuah konflik adalah mendiskusikan dan menyepakati solusinya. Solusi yang dihasilkan harus merupakan keputusan yang didapat dari seiap anggota kelompok. Kemudian langkah yang terakhir adalah pelaksanaan dari setiap langkah yang telah dilakukan. Setelah pelaksanaan dilakukan, terdapat sebuah langkah yang harus dilakukan oleh setiap anggota kelompok untuk mengatasi terjadiya konflik, yaitu dengan melakukan evaluasi. Setelah evaluasi dilakukan, hasil dari setiap langkah percobaan untuk mengatasi sebuah konflik yang terjadi dalam sebuah kelompok dapat dilakukan. Apabila langkah-langkah yang telah dilalui tidak berhasil dalam menangani sebuah masalah, anggota kelompok yang lain tidak boleh berkecil hati dan mencoba langkah-langkah yang telah dilakukan kembali.
Referensi:
KEMENTERIAN PERTAHANAN RI BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN. (2020). Â BAHAN PEMBELAJARAN DINAMIKA KELOMPOK.