Awan mendung menggulung di langit sore ini. Suasana menjadi dingin, tanda sebentar lagi hujan deras akan segera turun. Di sini, hanya ada aku dan kamu ... dalam kenangan.
Aku masih ingat saat tiba-tiba kau pulang dan sudah berdiri di depan pintu rumah. Senyummu terlukis di wajah yang basah karena hujan sore itu. Lalu, anak pertama kita berlari ke arahmu dan memeluk kakimu yang basah terkena lumpur. Segera kau keluarkan mainan kayu dari tas hijau lorengmu. Begitu bahagia anak kita saat itu. Aku menghampirimu dan segera mencium tanganmu. Saat itu hatiku lega, doaku masih dikabulkan untuk melihatmu di musim hujan waktu itu ....
Aku masih ingat saat aku meyiapkan semua bekal dan perlengkapanmu di tas lorengmu itu. Kau memintaku untuk menyiapkan baju seperlunya saja. Setiap malam sebelum keberangkatanmu bertugas, kau selalu memintaku untuk berdoa kepada Sang Khalik untuksekadar minum teh bersama di hari pensiunmu.
Saat kau pergi bertugas, aku seorang diri. Sekuat tenaga aku menjaga kedua anak kita dan seorang calon bayi yang ada di dalam kandunganku. Musim hujan yang lalu, kau berjanji akan segera pulang untuk memberikan nama terindah bagi calon anak kita ini. Kau berharap anak kita yang ketiga adalah seorang anak perempuan. Apakah kau masih ingat mimpimu membawanya berkeliling dengan sepeda onthel barumu kemarin? Masih ingatkah perbincangan kita kala malam itu saat kau ingin mengajakku dan ketiga anak kita untuk membangun sebuah rumah kecil bersama?
Rasanya baru kemarin aku mencium tanganmu dan memelukmu di depan rumah. Melepasmu untuk membela negara kita dan meninggalkanku sesaat. Rasanya baru kemarinmelihat senyummu yang begitu hangat. Rasanya baru kemarin melihatmu pergi dengan tas lorengmu, berjalan pelan tak seperti biasanya seakan enggan meninggalkanku. Aku melihatmu jauh dan semakin menjauh, lalu menghilang di tikungan jalan itu. Sesaat kemudian calon anakmu menendang perutku, sepertinya dia sedih kau pergi untuk ....
Aku memegang janjimu waktu itu untuk kembali. Sampai saat ini aku masih menantimu. Setiap sore aku selalu duduk di depan rumah dan melihat tikungan jalan itu. Berharap sosok gagah tentaraku kembali, membawa mainan untuk anak-anakmu.
Waktu telah berlalu, anak-anak kita sudah tumbuh dewasa. Nak kita yang ketiga ternyata seorang perempuan. Dia sangat cantik sekali. Pasti kau akan senang melihatnya tumbuh. Dia sudah menjadi wanita sekarang. Ya, anak kita sudah menikah. Tahukah kamu, cucu kita sangat lucu. Sering aku membayangkan kehadiranmu, kau pasti bahagia ....
Kapan kau akan kembali lagi? Untuk menjemputku mungkin ... suratmu sudah tak pernah ada ... Masih ingatkan dengan janjimu?
***
Lamunanku buyar semua. Tehku juga sudah mulai mendingin. Sesekali aku melihat tikungan jalan itu, berharap seseorang bertas loreng berlari menuju rumahku. Tiba-tiba aku tersentak .... Seseorang berlari di antara derasnya hujan. Itu seperti dirimu ... namun, benarkah itu kau, Mas? Lelaki itu semakin mendekat dan sampailah dia di depanku.
“Mas,?” tanyaku lirih tak percaya.
Dia hanya diam. Wajahnya sekarang terlihat lebih tua. Tubuhnya lebih kurus namun sorot mata dan senyumnya tetap sama. Senyum hangat itu kembali lagi, dengan segera di lepasnya tas lorengnya dan memelukku erat.
Pelukannya sangat erat, aku rasakan bahuku basah. Sepertinya dia menangis. Mungkin dia menyesal telah meninggalkanku sendiri mengurus anak-anak. Namun, aku memaafkannya karena dia telah kembali lagi. “Aku memaafkanmu, Mas .... “
This story is dedicated to my beloved grandmother that always waits her true love comes back from the war .... I learn a loyalty from her .... Now, she is passed away and I am sure she is happy now. She can meet her true love. They are separated for 60 years. I miss you my grandma ... I hope you are happy in there ... big hug for you and my Grandfather ....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H