Mohon tunggu...
Brigita Indriastanto
Brigita Indriastanto Mohon Tunggu... -

Seorang Ibu muda yang senang menulis, menulis apa saja yang menurutnya menarik. Aktivitas lainnya sibuk mengurus keluarga dan bisnis. Tinggal di Sanur - Bali.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Arif dan Oscar

27 Januari 2010   12:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:13 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_62588" align="alignleft" width="279" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] " Saya potong gaji kalian...!" desis saya sambil mata seluruhnya melotot, yang saya pelototi terpekur menatap karpet hijau di lantai. Kedua anak laki-laki itu, Arif dan Oscar  membuat hati saya kesal . Penyebabnya, mereka bangun terlambat dan belum membuka serta merapikan toko ketika saya datang pukul 8 lewat 10 pagi kala itu, alasannya tadi malam sangat ramai sehingga baru bisa tidur pukul 3 dini hari. " Awas ! Kalau terulang lagi. Kalian terima..?" tentu saja mereka mengangguk. Saya berlalu. Puas ! Saya akan menceritakan tentang Arif. Umurnya baru 19 tahun tamatan SD, anak pertama dari 8 bersaudara berasal dari Lampung. Awalnya tidak sengaja merekrut ia menjadi karyawan. Ketika, calon karyawan spa saya sedang training di depan tempatnya bekerja, Arif selalu mengamati dari seberang. Ia pelayan restoran Jepang di Jl.Poppies Kuta. Sampai suatu saat, anak laki-laki tinggi berkulit putih itu, mendatangi saya, dan dengan malu-malu bertanya apakah masih membutuhkan karyawan. Sepertinya ia anak rajin, saya yang memang masih membutuhkan terapis menyuruhnya untuk mengikuti training tersebut, tentu saja setelah Arif mengundurkan diri dari tempat kerjanya semula. Pernah saya menanyakan mengapa ia ingin bekerja di spa, ia bilang uangnya lebih menjanjikan daripada menjadi pelayan restoran, ia masih punya 7 adik yang butuh biaya . Satu tahun sudah Arif bekerja di tempat saya, memang ia anak rajin dan serba bisa. Sampai saat kejadian pagi itu. Sedangkan Oscar. Ia berasal dari Ende, tidak pernah sekolah dan berumur baru 17 tahun. Anak yatim piatu. Semula Oscar menumpang di pastoran. Bantu-bantu di gereja. Saya mempekerjakannya karena spa mulai ramai dan Arif sudah kewalahan. Tugas Oscar sebagai cleaning service sama dengan Arif, namun boleh belajar treatment terapi. Oscar juga rajin, polos, selama 11 bulan ia tidak pernah mengecewakan saya. Sampai pagi itu. Keduanya memiliki kesamaan . Bergaji paling rendah diantara pegawai lainnya. Rp. 300 ribu perbulan, dan sesekali tip dari para tamu. Pekerjaannya membersihkan toko, membuka toko pada pukul 8 pagi dan menutupnya kembali pukul 12 malam. Keamanan juga tanggung jawab mereka, begitu pula perbaikan dan penjagaan property. Bukan tanggung jawab yang kecil. Saya sudah melupakan kejadian pagi itu. Ketika sore datang. Saya sibuk, mempersiapkan acara ulang tahun anak saya yang pertama. Banyak tamu, banyak kerabat, banyak yang harus diurus. Saat sore itu Arif dan Oscar datang. Dari kejauhan menatap saya, takut-takut, untuk kemudian datang menghampiri. " Selamat ulang tahun untuk Anya ..Bu" kata Arif mewakili sambil meletakkan kantong plastik hitam di atas meja, begitu juga Oscar. Saya tidak sempat menanyakan apa itu? Ketika mereka hilang diantara kerumunan tamu-tamu. Ketika malam tiba, saat membuka kado-kado dari undangan, saya menemukan dua tas plastik hitam diantara kado warna-warni. Isinya...satu boneka gajah yang bisa melompat-lompat saat pegasnya diputar dan satunya mobil-mobilan ambulans warna kuning yang bisa ngebut saat buntutnya ditarik. Disertai kartu ucapan sederhana bertuliskan cakar ayam dari Arif (karena Oscar tidak bisa menulis) . Saya tahu pekerjaan berat menjadi tanggung jawab mereka. Bangun paling pagi dan tidur paling larut, serta seharian bekerja yang porsinya sama seperti karyawan lainnya. Mereka tidak pernah mengecewakan sampai "hanya 10 menit" pagi itu. Saya tahu uang yang mereka dapat dan pengeluaran rutin yang mereka keluarkan. Mestinya  tidak perlu semurka itu, sampai mengeluarkan ancaman yang menyinggung essensi dari tujuan mereka bekerja. Uang sepeserpun buat keduanya sangat..sangat berarti. Dari kerja keras siang malam tanpa keluhan sedikitpun. Keduanya toh manusia sama dengan saya, punya khilaf dan rasa capek. Kado dari mereka  seperti tamparan keras. Membuat saya malu pada keduanya !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun