Mohon tunggu...
Briantama Afiq Ashari
Briantama Afiq Ashari Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

Kennis n Daad

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Pengalaman Ziarah ke Makam Tan Malaka, Sang Bapak Republik yang Terpinggirkan

23 November 2021   01:20 Diperbarui: 23 November 2021   01:22 1255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kamis, 18 November 2021, saya masih termenung dan bimbang di kos. Kebetulan saat ini saya sudah seminggu lebih ngekos di Kota Kediri karena sedang magang. Saya termenung dan bingung tentang "kapan ya ke makam Tan Malaka". 

Tan Malaka adalah salah satu tokoh yang saya jadikan panutan. Bapak bangsa yang terlupakan serta terpinggirkan, bahkan nyawanya pun harus melayang karena ditembak oleh bangsa sendiri, sungguh ironis. 

Dedikasi perjuangan demi kemerdekaan bangsa melalui gagasan ide dan tulisan telah beliau tuangkan di beberapa bukunya, seperti Naar de Republik, Aksi Massa, Merdeka 100%, Gerpolek, hingga Madilog. 

Maaf bung Tan, saya sampai sekarang belum tamat membaca Madilog, beberapa kali masih mencoba memahami. Masih berkutat di Bab VII pasal 2 (Pandangan Madilog: Dari Titik Terkecil ke Alam Raya). Otak saya kadang konslet sendiri ketika membaca Madilog, hehehehe.

Tulisan-tulisan beliau yang jauh melampaui zamannya telah membuat saya tertarik untuk mengetahui lebih dalam tentang sosok bernama Tan Malaka, sudah sejak lama saya ingin pergi ke Kediri untuk sekadar berziarah. Namun, keinginan tersebut cuma berakhir wacana.

Oleh karena itu, ketika saya mendapatkan kesempatan untuk magang di Pemerintah Kota Kediri, saya langsung berniat untuk mengunjungi Kediri sekaligus berziarah ke makam Tan Malaka pula. Sudah jauh-jauh hari menyusun rencana ingin pergi berziarah, namun apa daya selalu kalah oleh keadaan. 

Berkali-kali saya kalah karena hujan, bangun kesiangan, atau jadwal yang tabrakan. Seringkali juga kalah oleh rasa "malas" karena letak makam yang lumayan jauh dari kos. Rencana untuk ziarah adalah di waktu pagi hari, sekitar jam 08.00/09.00, untuk meminimalisir situasi hujan atau ramainya kendaraan.

Namun, di hari Kamis lalu saya putuskan untuk tetap pergi, meskipun jam telah menunjukkan pukul 11.00 lebih. Apalagi mendung telah menutupi sebagian langit Kota Kediri, mengisyaratkan hujan akan turun membasahi bumi. 

Saya tetap nekat berangkat untuk ziarah ke makam pahlawan kemerdekaan ini. Sebelum berangkat, saya mengecek google maps untuk memperkirakan jarak dan waktu tempuh. Akhirnya, saya berangkat dari kos kurang lebih di pukul 11.06. Oiya, saya berangkat sendirian naik motor.

Tidak lupa saya mampir ke pasar Bandar (Kediri Kota) terlebih dahulu untuk membeli bunga seharga Rp. 5000/satu kresek sedang. Rute perjalanan lumayan ramai, karena ternyata anak sekolah juga baru pulang. 

Letak makam Tan Malaka berjarak 16 km dari kos saya, memang jaraknya relatif sedang (lumayan jauh kalau menurutku). Pada awalnya memang langit terlihat mendung, tetapi saat saya berada di perjalanan malah jadi panas menyengat.

Letak makam Tan Malaka berada di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri. Alhamdulillah, tidak ada kendala saat perjalanan. Mungkin hanya sinyal yang tiba-tiba hilang ketika memasuki wilayah Selopanggung sehingga google maps juga ikut tidak berfungsi. 

Mau tidak mau saya mencari letak makam Tan Malaka dengan manual (lihat papan penunjuk). Untungnya, di rute perjalanan terdapat papan penunjuk makam Tan Malaka secara jelas sehingga tidak bikin saya kesasar.

Memasuki wilayah Kabupaten Kediri, jalan mulai berubah naik turun dan belak-belok, seperti di gunung. Patokan saat kamu hampir tiba di makam Tan Malaka adalah ketika kamu sering menjumpai penunjuk makam Tan Malaka, itu tandanya kamu hampir sampai.

Benar saja, saya sering menjumpai papan penunjuk arah makam ketika telah memasuki wilayah Desa Selopanggung. Jalan lumayan sempit, apalagi saat saya telah mencapai jalan menuju makam, bahkan mobil tidak bisa sembarangan masuk.

Dari jalan raya lalu belok kanan (dari arah Kota Kediri) dan terdapat beberapa papan penunjuk makam (jalan ini merupakan rute terakhir ke makam Tan Malaka). Jadi tidak perlu takut kesasar saat sinyal google maps hilang. Saat belok kanan itulah jalan mulai sangat sempit, menurun tajam, bahkan sampingnya jurang. Harus sangat ekstra hati-hati ketika memasuki rute ini.

Pemandangan khas pedesaan yang hening dan sejuk pun mulai saya rasakan disini. Situasinya sangat sepi, hanya terdapat beberapa rumah warga dengan aktivitasnya. Saya juga melewati jembatan kecil yang menarik perhatian saya. Suara gemericiknya air, jernihnya air, dan heningnya situasi membuat perasaan semakin hanyut dalam ketenangan. Tak lupa, saya abadikan momen tersebut.

Dokumentasi Pribadi: Pemandangan sungai dari jembatan kecil (sudah sangat dekat dengan makam Tan Malaka)
Dokumentasi Pribadi: Pemandangan sungai dari jembatan kecil (sudah sangat dekat dengan makam Tan Malaka)
Setelah mengambil foto, saya meneruskan perjalanan karena letak makam sudah sangat dekat. Jalan disini sangat sempit dan naik-turun, jadi harus tetap hati-hati. Akhirnya saya sampai di makam bung Tan Malaka, setelah melewati perjalanan yang cukup jauh dan menegangkan. 

Oiya, sekadar mengingatkan, lebih baik jangan sendirian ketika mengunjungi makam Tan Malaka. Bukan karena aura mistis atau apalah itu, tetapi perihal keamanan kendaraan. Jujur, pertama kali yang saya rasakan adalah sikap gelisah dan was-was ketika turun ke bawah untuk berziarah.

Motor saya parkir di pinggir jalan, sedangkan letak makam berada di bawah sehingga keadaan motor dari area pemakaman sedikit terhalang pepohonan. Saya khawatir keamanan motor dan helm. Apalagi helm juga baru beli, jadi was-was takut dicuri karena helm saya sebelumnya lenyap dicuri orang, wkwk.

Untungnya, hal tersebut berhasil saya atasi agar tidak menggangu niat dan konsentrasi saya untuk berziarah serta mendoakan secara ikhlas bagi bung Tan Malaka. Oleh karena itu, saya sarankan agar tidak sendirian ketika berziarah ke makam Tan Malaka. Minimal dua orang biar bisa gantian, yang satu ziarah, yang satu jaga kendaraan biar tidak menggangu niat dan konsentrasi ketika sedang ziarah.

Jam menunjukkan pukul 12.16 WIB, situasi makam sangat sepi, bahkan hanya ada satu warga saja yang sedang bertani di sekitar makam. Letak makam dari jalan cukup tersembunyi karena letaknya berada di bawah. Selain itu, makam Tan Malaka juga dikelilingi oleh persawahan.

Saya harus menuruni anak tangga dari pinggir jalan, inilah foto yang saya ambil dari atas:

Dokumentasi Pribadi: Terlihat hanya ada satu warga yang sedang bertani di sekitar makam Tan Malaka
Dokumentasi Pribadi: Terlihat hanya ada satu warga yang sedang bertani di sekitar makam Tan Malaka

Setelah menuruni anak tangga, sampailah saya di makam Tan Malaka. Disitu saya memanjatkan doa bagi beliau, tak lupa juga menaburkan bunga untuk beliau. Di makam ini saya hanya sendirian, karena sekilas saya melihat seseorang warga tadi ternyata sudah kembali naik ke atas.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi

Sungguh bapak republik yang terpinggirkan dan terasingkan. Makam Tan Malaka berada di kompleks pemakaman umum warga sekitar. Di kompleks pemakaman terdapat kotak amal yang digunakan sebagai tempat untuk menampung dana sukarela dari para peziarah.

Saya agak lama di makam karena sedang seolah-olah berbincang bersama bung Tan Malaka. Terakhir, saya ucapkan doa dan salam perpisahan sekaligus ucapan terima kasih serta minta maaf untuk beliau atas segala dedikasi dan akhir hidup beliau yang justru harus "mati" oleh bangsa sendiri. 

Suasana sepi, hening, dan hanya ditemani suara angin membuat saya semakin merinding. Bukan merinding ketakutan, tetapi merinding karena mengingat segala perjuangan beliau yang berakhir dengan kesepian, asing, bahkan terpinggirkan seperti sekarang ini. 

Bagi kamu yang memang tertarik atau suka dengan sejarah, makam Tan Malaka harus wajib kamu kunjungi. Akhir kata, mengutip kata Tan Malaka di tulisannya, yaitu Naar de 'Republiek Indonesia', Menuju Republik Indonesia (1925)

"Keadaan revolusioner harus dilengkapi dengan hasrat revolusioner. Kesadaran saja tidak cukup sudah sewajarnya bahwa rakyat Indonesia telah diperbudak selama 300 tahun dan harus berjuang melawan imperialisme yang mungkin dibantu oleh imperialisme-imperialisme lainnya tak akan dapat menang dalam satu hari" 

MERDEKA 100%!!! Sekali lagi, sebagai generasi muda harus TJAMKAN JAS MERAH!!!

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun