Saya harus menuruni anak tangga dari pinggir jalan, inilah foto yang saya ambil dari atas:
Setelah menuruni anak tangga, sampailah saya di makam Tan Malaka. Disitu saya memanjatkan doa bagi beliau, tak lupa juga menaburkan bunga untuk beliau. Di makam ini saya hanya sendirian, karena sekilas saya melihat seseorang warga tadi ternyata sudah kembali naik ke atas.
Sungguh bapak republik yang terpinggirkan dan terasingkan. Makam Tan Malaka berada di kompleks pemakaman umum warga sekitar. Di kompleks pemakaman terdapat kotak amal yang digunakan sebagai tempat untuk menampung dana sukarela dari para peziarah.
Saya agak lama di makam karena sedang seolah-olah berbincang bersama bung Tan Malaka. Terakhir, saya ucapkan doa dan salam perpisahan sekaligus ucapan terima kasih serta minta maaf untuk beliau atas segala dedikasi dan akhir hidup beliau yang justru harus "mati" oleh bangsa sendiri.Â
Suasana sepi, hening, dan hanya ditemani suara angin membuat saya semakin merinding. Bukan merinding ketakutan, tetapi merinding karena mengingat segala perjuangan beliau yang berakhir dengan kesepian, asing, bahkan terpinggirkan seperti sekarang ini.Â
Bagi kamu yang memang tertarik atau suka dengan sejarah, makam Tan Malaka harus wajib kamu kunjungi. Akhir kata, mengutip kata Tan Malaka di tulisannya, yaitu Naar de 'Republiek Indonesia', Menuju Republik Indonesia (1925)
"Keadaan revolusioner harus dilengkapi dengan hasrat revolusioner. Kesadaran saja tidak cukup sudah sewajarnya bahwa rakyat Indonesia telah diperbudak selama 300 tahun dan harus berjuang melawan imperialisme yang mungkin dibantu oleh imperialisme-imperialisme lainnya tak akan dapat menang dalam satu hari"Â
MERDEKA 100%!!! Sekali lagi, sebagai generasi muda harus TJAMKAN JAS MERAH!!!