Mohon tunggu...
Brian Rivan Assa
Brian Rivan Assa Mohon Tunggu... Guru - Elementary School Teacher | Job 42:2

Menulis sebagai Katarsis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Ruang Jiwa

31 Desember 2020   12:07 Diperbarui: 31 Desember 2020   13:40 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada kodratnya manusia membutuhkan kenikmatan. Dia akan selalu mencari di mana kenikmatan itu berada dan berasal. Asal-usul kenikmatan, selain yang muncul dari nafsu-nafsu yang melekat dengan penggunaan tubuh seperti makan, minum dan ada juga kenikmatan-kenikmatan lain.

Bila orang hidup melulu mengikuti nafsu tubuh, maka kenikmatan baginya adalah menumpuk harta benda atau mendapatkan keuntungan material. Mengapa? Karena dengan harta benda ia bisa memenuhi hasratnya akan makan, minum, dan apa saja yang sejenis dengan itu.

Orang yang hidup mengikuti hasrat harga diri, kenikmatan tertinggi adalah ketika ambisi-ambisinya tercapai dan mendapatkan penghargaan serta nama besar. Tepuk tangan, pujian, angkat topi, like, comment dan share menjadi tujuan hidupnya.

Sementara orang yang mencintai kebijaksanaan dan kebenaran-kebenaran sejati, kenikmatan baginya tidak ditemukan dalam keuntungan material, bukan juga pada soal harga diri dan reputasi. Kenikmatan pencinta kebijaksanaan adalah pengetahuan akan hal-hal yang dalam dirinya sendiri benar, baik dan indah.

Dari berbagai macam kenikmatan, ada kenikmatan yang stabil dan murni yang hanya muncul dari aktifitas berpikir, yaitu kemampuan perenungan yang bisa dipahami, dimengerti, serta jelas terdengar.

Kenikmatan inilah yang membedakan antara manusia dengan binatang. Kenikmatan yang diperoleh binatang yang hanya melihat ke bawah, menunduk dan sekedar lekat pada hal-hal yang selalu berubah. Senantiasa tunduk pada nafsu-nafsu makan, minum, seks, atau hal-hal yang tak pernah memberi kepuasan, padahal semua itu semu, orang akan kehausan untuk selalu mencari yang sejati dalam kesemuan, dengan akibat tak pernah puas, semakin terbenam dalam lingkaran tanpa pernah bisa melongok ke atas.

Hidup yang baik dan membahagiakan selalu diiringi kenikmatan. Namun bukan sembarang kenikmatan yang bersifat tak terbatas dan selalu meminta lagi dan lagi, ini dan itu. Melainkan sebuah kenikmatan yang sudah diberi batas oleh akal sehat.

Terdapat dua macam kenikmatan sebagai efek terpenuhinya suatu kebutuhan yang berkenaan dengan tubuh. Pertama, saat perut terisi. Hal yang bersifat fisik ini ditemani oleh sebuah efek, yaitu rasa nikmat, kenyang. Namun kedua, ada jenis kenikmatan lain yang tidak tergantung pada yang bersifat fisik, yaitu rasa nikmat dan rasa sakit yang berkenaan dengan jiwa. Terlepas dari soal-soal fisiologis, saat jiwa cenderung pada sesuatu, orang bisa membayangkan dan merasakan nikmat atau sakit di situ.

Jadi, tanpa adanya hal-hal yang bersifat jasmani, kita bisa pula merasakan sakit atau nikmat. Dengan demikian, kenikmatan sebenarnya lebih berkaitan dengan penilaian jiwa manusia daripada hal yang melulu fisik. 

Artinya, aktifitas rasional yang mengkontemplasikan objek sejati dengan sendirinya membawa kenikmatan. Di titik ini, munculnya kenikmatan sebenarnya tidak lagi tergantung pada apa yang dirasakan jiwa, melainkan dari hal yang dikontemplasikan itu sendiri. Hal yang sejati (ide, keadilan, keindahan) dengan sendirinya membuat manusia senang, nikmat, puas. Sebaliknya, hal yang jelek dapat membuat jiwa sakit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun