"Yah pak....!! baru juga baca sebentar !".
Teriakan kekecewaan yang terdengar menyenangkan bagi saya. Lho gimana sih ? Murid kecewa kok malah seneng ? Tidak. Saya tidak aneh kok hehe. Saya seneng karena berarti mereka benar-benar memiliki ketertarikan dan minat baca buku yang cukup tinggi. Kalo tidak tertarik, tentu mereka akan biasa saja ketika saya menghentikan waktu membaca. Saya sebenernya juga nggak rela membatasi kesempatan membaca mereka. Tapi kalo sudah saatnya pulang ya mau ga mau harus dihentikan.
Minat baca yang tinggi seperti itu harusnya tidak hanya berlaku pada anak SD saja tapi juga kalangan remaja dan orang dewasa. Saya sebagai penyuka buku, cukup gregetan ketika bertahun-tahun fakta yang selalu beredar adalah minat baca orang Indonesia rendah. Maka saya ingin sekali menularkan virus minat baca ke orang lain. Tapi kalo kepada teman-teman sebaya sepertinya sulit. Karena mereka sepertinya sudah punya ketertarikan lain dibanding membaca.Â
Nah..... Profesi saya sebagai guru sangat strategis untuk mendorong minat baca anak-anak. Dengan wewenang yang saya miliki sebagai guru, saya bisa mengarahkan kegiatan yang mendorong kebiasaan membaca.
Ketika mengawali kiprah di sebuah SDN di Jakarta Pusat, saya cukup prihatin dengan perpustakaannya. Jumlah bukunya sih cukup memadai. Namun luas ruangannya kurang ideal dan ternyata tidak ada petugas perpusnya. Aktivitas literasi pun menjadi tak terlihat. Kalau seperti itu kondisinya akan sulit mengarahkan siswa agar terbiasa membaca.
Maka saya berpikir, bagaimana caranya agar budaya membaca tetap terwujud. Akhirnya saya memulainya  dari kelas saya dahulu. Saat itu saya mengajar kelas 2. Saya coba bawa beberapa  buku dari perpustakaan ke kelas. Setelah saya perhatikan, ternyata murid-murid tersebut punya minat baca yang tinggi. Terbukti  mereka antusias ketika saya persilahkan baca buku.
Namun kebiasaan membaca belum berjalan ideal. Waktu belajar yang pendek tidak memungkinkan menyelipkan waktu khusus untuk membaca di setiap hari. Maka saya hanya menjadwalkan waktu membaca setiap hari Selasa, menjelang pulang sekolah. Penempatan buku-buku pun hanya ditumpuk saja. Saya sebenernya juga ingin menata buku-buku itu, agar di kelas terdapat pojok baca yang permanen. Tapi keterbatasan tempat, membuatnya tidak memungkinkan.
Saya juga cukup sulit menemukan buku dari perpus yang benar-benar pas untuk murid. Ada yang terlalu banyak tulisan dan tidak berwarna, ada yang kontennya terlalu berat untuk anak.
Sebagian anak pun jadinya hanya membuka-buka halaman sebentar lalu mengembalikannya lagi. Akhirnya saya membelikan 6 buku cerita, kebetulan ada cuci gudang buku anak di gramedia pondok gede hehehe. Memang hanya sedikit sih tapi, setidaknya buku yang benar-benar dibaca murid bertambah.Â
Nah.... sekarang ini barulah kebiasaan membaca di kelas saya berjalan cukup ideal. Kini saya mengajar kelas 3. Di belakang kelas terdapat meja besar yang memungkinkan untuk meletakkan buku lebih leluasa, sehingga terwujudlah pojok baca di kelas. Frekuensi kesempatan membaca pun menjadi setiap hari. Sistem yang diterapkan adalah siswa yang sudah selesai mengerjakan soal latihan boleh baca buku. Melihat antusiasme yang begitu tinggi saya juga semangat untuk membeli buku lagi dan meminjam dari perpus gereja hehe.