Program Studi Desain Komunikasi Visual Universitas Pelita Harapan (DKV UPH) kembali mengadakan Kuliah Terbuka, 'Design Roundtable' yang ketujuh pada hari Selasa, 28 Mei 2019. Bertempat di ruang Lab Seni Rupa DKV UPH, Giovanni Rustanto memberikan kuliah: "How to Write and Produce Short Fiction Film in Relation to Visual Communication and Storytelling".
Pada siang hari itu, sang alumni DKV UPH membagikan bagaimana proses dan perjalanannya sebagai seorang desainer komunikasi visual hingga menjadi seorang filmmaker yang mendapatkan nominasi-nominasi dan juga memenangkan penghargaan di beberapa film festival dan awards seperti Top Indie Film Awards, European Film Festival Mainstream and Underground, Go Debut Film Festival, Bucharest Shortcut Cinefest, Asia South East-Short Film Festival, dan lain-lain. Gio, sapaan dari Giovanni Rustanto, memulai dengan menjelaskan inti dari sebuah film: story.
"Semua orang suka dengan cerita. Semua orang ingin mendengar cerita, semua orang ingin menceritakan sesuatu." Ketika sebuah film memiliki sebuah cerita yang jelas dan dapat dimengerti oleh para penontonnya, maka film tersebut pasti dapat dinikmati dengan baik.Â
Ia mengungkapkan bahwa dalam proses pembuatan film pendeknya, ia menghabiskan waktu paling lama dalam proses pre-production, khususnya dalam mengembangkan cerita dan membayangkan bagaimana cerita itu akan ditunjukkan dalam filmnya. Setelah mendapatkan cerita dan gambaran visual, proses production dan post-production sendiri tidak serumit itu.
Gio membeberkan ketika selesai proses produksi, ia akan meluangkan waktu untuk istirahat sebelum masuk ke tahap editing filmnya. "Supaya kita bisa lebih fresh ketika melihat hasil shooting kita." Bagi Gio, ketika seorang pembuat film sudah terlalu 'dekat' dengan filmnya, terkadang ia perlu memisahkan diri sejenak agar ia dapat mengedit dengan lebih obyektif dan lebih baik.Â
Hal itu dikarenakan seorang filmmaker sudah tahu mengenai cerita filmnya, dan terkadang hasil editan yang tidak jelas akan terasa jelas oleh orang yang sudah tahu ceritanya; padahal belum tentu film tersebut jelas maksud ceritanya.
"Penonton film itu pintar, makanya sebagai seorang filmmaker, kita juga harus sering menonton. Tapi jangan menonton film sebagai penonton; tapi sebagai filmmaker. Ketika kita lihat sebuah film, kita harus pelajari, analisa, breakdown filmnya", ungkap Gio. Gio menceritakan bahwa seorang filmmaker harus banyak menonton film untuk belajar. Ia mengambil contoh Quentin Tarantino yang tidak menempuh pendidikan sekolah film namun mampu membuat film-film yang kaliber. Tarantino menghabiskan waktunya bekerja di perusahaan rental video, dan menonton film setiap harinya. "Dia mungkin nonton film lebih banyak daripada orang yang sekolah film".
Dalam sesi tanya jawab yang dibuka oleh moderator Eston K. Mauletti, Gio ditanya apakah penting sekolah film, mengingat Quentin Tarantino adalah contoh orang yang tidak menempuh pendidikan film namun tetap bisa membuat film dengan baik. "Kenapa ada sekolah? Supaya kita bisa belajar lebih baik. Belajar disiplin, belajar rules, belajar basic-basicnya." Ia menungkapkan bahwa sekolah adalah sebuah privillege yang tidak semua orang bisa dapatkan, dan itulah mengapa sekolah itu penting, jika kita memiliki kesempatan tersebut. "Film itu komitmen. Bukan masalah pintar, jago atau keren.. Tapi teamwork, saling kritik dan belajar, berkembang. Filmmaking itu adalah sebuah journey." Gio meneruskan bahwa dengan sekolah, seseorang dapat belajar lebih banyak hal dengan lebih efektif, jika orang tersebut benar-benar mau belajar.
"Sekolah memberikan kesempatan buat kita berkarya. Berkarya dulu. Kreatif dulu", terang Gio ketika memberikan respon mengenai pendapat bahwa banyak orang yang kuliah film karena merasa industri film merupakan industri yang menghasilkan banyak uang. "Jangan mikirin duit dulu deh", sambung Gio sambil tertawa.