Mohon tunggu...
Humaniora

Pelajaran Emansipatoris: Tidak Cukup Satu!

22 Juni 2016   04:40 Diperbarui: 22 Juni 2016   04:46 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernahkan kita lihat dalam kehidupan sehari-hari bahwa mempelajari sesuatu tidak cukup hanya mengaplikasikan satu ilmu saja? Misalnya kita belajar tentang bagaimana caranya berternak sapi. Dari berternak sapi apakah kita hanya melihat dari sudut pandang ekonomi saja? Tentu tidak! Hal itu tidak hanya berkaitan dengan kegiatan ekonomi seperti menjual dan membeli sapi ternak kita. Aspek lingkungan pun terlibat. 

Misalnya kotoran sapi tersebut mengandung gas metana yang sifatnya dapat mengikis ozon atau CO3, sehingga bumi rawan akan pemanasan global. Karena hal tersebut, kita akhirnya mencoba memahami bagaimana caranya mengolah kotoran sapi ini agar tidak berbahaya bagi lingkungan dan tetap berkelanjutan. Dari hal tersebut dapat direfleksikan bahwa kita juga mendapat pembelajaran tentang lingkungan, atau dapat pula disebut sebagai Environmental Education (EE).

Bertolak dari konsep EE atau pendidikan kelingkungan, kini menjadi hal yang penting bagi banyak institusi untuk mengembangkan pendidikan yang emansipatoris berdasarkan aspek lingkungan. Misalnya ada sebuah kebijakan baru dari organisasi pemerintah tentang X, dengan konsep pendidikan kelingkungan kita diajak untuk lebih dalam memahami dan meneliti seperti apa dampak ke depan. Environmental Education ini penting karena lingkungan tidakhanya menangkut satu aspek saja, yaitu lingkungan secara fisik, namun juga sosial yaitu dampaknya terhadap masyarakat. Kemudian dipakai utnuk melihat kira-kira seperti apa dampaknya ke depan adalah untuk melihat seberapa jauh kebijakan itu membuat lingkungan terus hidup atau berlanjut. Dari hal tersebut, peulis berefleksi bahwadalam mempelajari sesuatu hal atau fenomena tidak cukup hanya dengan satu perspektif. Aspek lingkungan dan sosial (dalam hal ini komunikasi) penting untuk terlibat demi satu tujuan yaitu keberlanjutan.

Penulis mencoba melihat konteks dari Negeri Kincir Angin, Belanda seperti yang dituliskan oleh Wals dan Geerling-Eijff. Pemerintah Belanda dan pemerintahan negara lain ada waktu itu mendukung adanya berbagi kegiata, pendidikan, dan strateg komunikasi untuk mempengaruhi perilaku warga dengan wujud kampanye, iklan layanan masyarakat, menciptakan suatu pelabelan baru atas lingkungan yang pada intinya mereprenstasikan tujuan dari kempanye itu sendiri (2008:56).

Bentuk dukungan tersebut merupakan aplikasi dari EE atau Environmenta Education , yaitu mencoba melibatkan  dialog yang aktif dari masyarakat yang mempunyai tujuan untuk membangun makna secara kolektif dan rencana dalam rangka emansipasi.  Langkah awal yang digunakan yaitu dari dunia sosial mereka dulu aitu menciptakan partisipasi. Partisipasi itu sendiri penting dalam kerja-kerja emansipatoris.

Pemerintah Belanda pada saat itu telah menghasilkan kebijakan yang fokus pada menciptakan ruang bagi partisipasi multipihak dalam mencari situasi yang lebih berkelanjutan dari yang sekarang. Dengan kata lain, kebijakan yang tidak menguraikan hasil perilaku tertentu, selain mendapatkan orang yang secara aktif terlibat dan memungkinkan beberapa suara, termasuk yang terwujud marjinal, untuk didengar. The memoran- dum Belanda dipelajari untuk Pembangunan Berkelanjutan (Dutch Learning fr Sustainability Program, 2004) secara khusus mengidentifikasi pembelajaran sosial sebagai titik fokus utama (Wals dan Geerling-Eijff, 2008: 58).

Salah satu bentuk pengerjaan EE yang di berikan oleh Wals dan Geerling-Eijff yaitu berjudul ” The Adopt a Chicken Campaign”. Kampanye ni dimaksud untuk merangsang kedadara masyarakat dan dukungan untuk pertanian, yang memungkinkan warga untuk mengadopsi ayam. Kemudain bentuk pengerjaan pendidikan kelingkungan yang lain yaitu menciptakan distrik yang berkelanjutan. Tujuan dari hal tersebut sederhana yaitu meningkatkan kualitas hidup di suatu distrik. Cara kerjanya yaitu melalui konsultasi dan diskusi bersama warga dan pemangku kepentingan lainnya. Pada waktu itu kota Rotteram dan Den Haag yag menjalankannya dengan menjalankan suatu proyek yang dalam upaya memperolah keberlanjutan dengan partisipasi (Wals dan Geerling-Eijff, 2008: 60).

Kemudian yang ketiga adalah The Den Hanker. The Den Haneker adalah asosiasi agri-lingkunan yang dalam tujuannya adalah mengkonservasi dan mengelolaelemen-elemen pemandangan yang alami di wilayah pertanian. Asosiasi ini menggunakan pendidikan kelingkunga atau environmental education untuk mendukung tujuan merekadengan cara antara lain memberi kursus, mengelola wesbsite, menawarkan dengan media brosur, video dan booklet.

Ada tambahan atau kritikan? Mari-mari...... Terima kasih.

Sumber: 

Wals, A. E. J., Geerling-Eiff, F., Hubeek, F., Kroon, S. van der & Vader, J. (2008). “All mixed up? Instrumental and emancipatory learning toward a more sustainable world. Considerations for EE policymakers.” Applied Environmental Education and Communication, 7: 55-65.

.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun