“Ayo berpartisipasi dalam acara gotong royong bersih desa, vrohh...!!!”
Mungkin kita sering mendengar kata partisipasi, entah itu dari media massa, dari tempat kerja kita, tempat tinggal kita, dan lain-lain. Partisipasi ini diemonstrasi kan untuk berbagai macam tujuan, misalnya meringankan pekerjaan, menguatkan tali silaturahmi, menambah jaringan komunikasi dengan orang lain. Intinya partisipasi itu “serba baik” maknanya.
Salah satu hal yang pernah menjadi kontroversi di negara-negara Eropa, lebih spesifik di Belanda adalah tentang pembuangan limbah dan pembuatan pembangkit listrik tenaga nuklir sekitar tahun 1970an.
Spesifikasinya, antara tahun 1973 hingga 1986, topik yang paling kontroversial di hampir setiap negara barat mengenai lingkungan adalah energi nuklir. Topik energi menjadi berita hangat sejak krisis minyak di 1973-1974. Kenaikan harga yang cukup besar juga terlihat di 1979-1981. Energi nuklir diajukan sebagai alternatif politik dan aman, cocok untuk tingkat ketergantungan yang tinggi pada minyak dari Timur Tengah.
Namun energi nuklir memunculkan perlawanan dalam masyarakat. Mereka menentang energi nuklir yang tidak hanya terkait dengan bom atom dan perlombaan senjata, tetapi juga melihatnya sebagai simbol dari teknologi skala besar didominasi oleh teknokrat. Intinyanya, energi nuklir itu berbahaya, tidak aman, tidak demokratis dan akibatnya politik dan sosial tidak dapat diterima (Leroy dan Van Tatenhove, p. 168).
Warga mengasumsikan ada bentuk permainan politik dalam membuat keputusan tentang pengesahan pembangkit lisrik tenaga nuklir tersebut. Bagi mereka, simbol gaya otokratis pengambilan keputusan yang didominasi oleh pertimbangan politik, militer dan teknologi. (Leroy dan Van Tatenhove, p. 169).
Melalui pemaparan singkat dari kasus tersebut, yang menjadi pertanyaan adalah apakah partisipasi warga dalam membuat keputusan ini ada?
Bagi Leroy dan Van Tatenhoven, kasus ini memunculkan gerakan The Green Discontent, diartikan secara awam dalam Bahasa Indonesia berarti ketidakpuasan hijau. Memang terdengar aneh, namun secara sederhana mengacu pada gerakan ketidakpuasan rakyat terhadap kebijakan (yang dibuat oleh pemangku kepentingan) pembuatan pembangkit listrik tenaga nuklir yang mengesampingkan dampak lingkungan dan sifat tidak demokratis dalam pengambilan keputusan. Dari hal itulah muncul gerakan The Green Discontent sebagai gerakana untuk melindungi lingkungan dengan menjadi oposisi terhadap kebijakan ini.
Kemudian, dalam pengambilan kebijakan keputusan ini tidak lepas dari relasi kuasa. Pada saat itu, Van Agt memilih untuk membuat diskusi atau debat secara luas atau terbuka untuk membahas hal ini dibandingkan mengikuti tren Eropa saat itu yang langsung melegitimasi pembangkit listrik tenaga nuklir. Tujuan debat publik ini adalah sebagai peluang masyarakat untuk berpartisipasi dan wujud transparans kebijakan. Namun debat publik yang di lakukan ternyata tidak signifikan dan akhirnya pemerintah tetaap membuat pengesahan pembangkit listrik dari energi listrik ini beberapa tahun kemudian yaitu tahun 1985. Keputusan ini menyebabkan kemarahan dan kekecewaan warga (Nauta, dalam Leroy dan Van Tatenhoven, p. 170).
Dari sini muncul upaya warga dan pergerakan lingkungan untuk memaksimalkan penggunaan peluang partisipasi yang ditawarkan (namun ternyata) gagal, menyebabkan perubahan dalam keseimbangan kekuasaan. Hal tersebut merupakan salah gerakan ‘ambisi’ dari ketidakpuasan masyarakat.
Seperti apapun bentuk partisipasi warga pasti membawa efek terentu, baik efek yang terjadi pada internal gerakan itu sendiri maupun efek yang mengarah pada eksternal gerakan itu sendiri, seperti pemerintah, pasar, atau masyarakat umum. Menegakkan partisipasi politik yang lebih di bidang lingkungan adalah untuk sebagian besar untuk kebaikan gerakan lingkungan (Leroy dan Van Tatenhoven, p. 170).