Dinul Islam adalah syari’at yang pertengahan di atas jalan yang lurus. Tidaklah dikenal dalam syari’at Islam pembenaran terhadap sikap ekstrim dan tidak pula ada sikap menyepelekan tuntunan maupun aturan syari’at.
Rabb kita telah menjelaskan ciri umat Islam ini dalam firman-Nya,
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam), umat yang wasathan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian.” (QS. Al-Baqarah : 143)
Wasathan dalam ayat di atas, ada penafsiran di kalangan para ulama :
Pertama : Umat wasathan bermakna umat yang adil dan pilihan. Dan ini adalah pendapat kebanyakan ulama tafsir.
Kedua : Umat wasathan bermakna pertengahan antara dua kutub; kutub ekstrim dan kutub menyepelekan.[1]
Sifat pertengahan Islam sangatlah jelas pada seluruh aspek dan bidang yang dibutuhkan oleh manusia, baik dalam masalah ‘ibadah, mu’âmalat, pemerintahan, perekonomian, hukum, pernikahan, dan sebagainya. Bahkan dalam masalah cara membelanjakan harta, Islam juga telah mengaturnya di atas dasar pertengahan tersebut,
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqôn : 67)
Dan Allah Jalla Jalâluhu memerintahkan kepada Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam dan umatnya dalam firman-Nya,
“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah bertaubat bersamamu dan janganlah kalian melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kalian kerjakan.” (QS. Hûd : 112)
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ telah menyatakan haramnya ekstrim dalam beragama,