[caption id="" align="alignnone" width="620" caption="Djohar Arifin Husin, Ketua Umum PSSI periode 2011-2015. Sumber: Kompas"][/caption] Sebelum kongres tanggal 9 Juli 2011 di Solo berlangsung, saya termasuk yang pesimis kongres bisa berjalan lancar, mengingat kengototan kubu K-78 dan pengalaman kongres sebelumnya di Jakarta. Bahkan saya sampai pada perasaan 'tidak perduli', kalau lancar alhamdulillah kalau tidak ya sudahlah, life goes on. Menjelang kongres, berhembus kabar segar dan secercah harapan, konon Pak GT-AP bersama pendukungnya dari K-78 bersedia 'melunak'. Saya termasuk 1 dari sekian banyak rakyat Indonesia yang turut bersorak gembira ketika akhirnya kongres benar-benar berjalan lancar dan memilih Ketua Umum PSSI yang baru: Pak Djohar Arifin. Saya tidak kenal sosok pak Djohar, tapi dari yang saya baca di salah satu tulisan kompasiana, beliau sosok yang kompeten dan punya track record yang bagus. Sedikit banyak saya ikut berharap pak Djohar mampu membawa angin perubahan sepakbola Indonesia ke arah yang lebih baik. Saya bersimpati atas banyaknya PR (pekerjaan rumah) yang menanti pak Djohar sebagai Ketum PSSI yang baru, mulai dari kas minus, di-black list oleh beberapa hotel karena hutang, visa pemain timnas yang belum diurus, tunggakan gaji, dll. Saya sepenuhnya mendukung, meski hanya dalam hati, ketika beliau ingin agar laporan kepengurusan sebelumnya diaudit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP). Sempat terpikir juga, "habis berapa tuh kira-kira biaya untuk audit, bukannya PSSI lagi tidak punya dana?" Apalagi mengingat yang akan mengauditnya adalah Deloitte, salah satu KAP Big-4, meskipun kualitasnya tidak perlu diragukan tetapi biaya auditnya sudah pasti sangat mahal. Tapi saya fikir lagi, biarlah boroknya dibuka sekalian, supaya bisa cepat kering dan sembuh, daripada ditutup-tutupi terus jadi membusuk dan menyebar merusak jaringan lain yang sehat. Semua tampak baik-baik saja bagi saya sampai ketika saya membaca berita kompas kemarin sore, saya dikejutkan dengan pemberitaan pemecatan Alfred Riedl dan penunjukan pelatih penggantinya. "What!? Why???", begitulah yang pertama terlintas di kepala saya. Usut punya usut, ternyata masalah kontrak penyebabnya. Dikatakan kontrak Riedl bukan dengan lembaga PSSI, tetapi dengan pribadi pak Nirwan Bakrie. Sulit logika saya mencerna pemecatan ini:
- Jadwal sudah mepet, bagaimana dengan persiapan timnas bila memakai pelatih baru yang sebelumnya tidak terlibat?
- Saya tidak tahu persis isi kontrak pak Riedl, tapi biasanya pemecatan pasti ada biaya kompensasi. Bukankah PSSI sedang kesulitan dana?
- Jika memang masalahnya di kontrak, kenapa tidak membuat kontrak baru saja dengan pak Riedl? saya kira ini lebih masuk akal ketimbang menyewa jasa pelatih baru, apalagi pak Riedl juga sudah terbukti kompeten.
Pendapat yang pro dan kontra akibat pemecatan pak Riedl ini sebagian sudah dirangkum salah satu kompasianer di sini. Anyway, pemecatan pak Riedl, jika memang menurut pak Djohar adalah keputusan terbaik, seharusnya bisa dilakukan dengan cara yang lebih elegan. Rasanya terlalu sadis ketika anda mengetahui diri anda dipecat justru dari media dan wartawan, sementara dari pihak perusahaan tempat anda bekerja tidak (belum?) mengatakan apapun pada anda, seperti yang dialami oleh pak Riedl (bisa dibaca di sini). Ketika mencari informasi tentang penyebab pemecatan pak Riedl, saya juga menemukan berita lain. Dikatakan pak Djohar menyatakan ingin memindahkan kantor PSSI, agar seperti kantor KNVB (PSSI-nya Belanda) yang berlantai 3 dan dilengkapi berbagai fasilitas. "Wahduh, kok belum-belum sudah mau gedung baru, seperti para anggota dewan yang 'terhormat' saja...", pikir saya. Sebetulnya tidak ada yang salah dengan keinginan pak Djohar membangun kantor baru, namun waktunya tidak tepat. Kenapa wacana ini dikemukakan justru pada saat PSSI sedang dilanda masalah yang jauh lebih urgent, dalam hal dana dan perhatian, dan bahkan kepengurusan baru masih belum memulai kerjanya. Pemecatan Riedl yang (menurut saya) kental muatan politisnya serta wacana gedung baru, kok gelagatnya bakal masalah lagi ya... tapi mudah-mudahan saya salah, mudah-mudahan pak Djohar adalah solusi untuk masalah-masalah sepakbola yang ada, bukan justru tambahan masalah baru. Mari kita nantikan sepak terjang pak Djohar berikutnya...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H