Mohon tunggu...
Brata Jaya
Brata Jaya Mohon Tunggu... -

Mengabdi Dengan Kerendahan Hati, Seperti Penyaji Suguhkan Secangkir Kopi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Akulah Pendukungmu

15 Juli 2014   02:13 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:19 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Iya Mas Wo,

Saya bisa memahami rasa patah hati  akibat cinta di tolak. Terlebih, cinta itu didasari atas kepedulian  terhadap bangsa dan Negara. Kali ini, percaya saja, perjalanan asmara Mas Wo, mirip dengan perjalanan cinta saya. Nasib kita sama,  selalu berakhir dengan kalimat “ bertepuk sebelah tangan “. Cuma, cinta saya sesempit  mengambil hati seorang gadis, sedangkan Mas Wo cintanya maha luas, yakni kepada segenap tumpah darah rakyat Indonesia. Tapi, patah hati itu rasanya gak jauh bedanya Kok Mas.  Nyesek ga jelas gitu…

Mas Wo ! saya tahu, meniti karir cinta  Mas kepada rakyat Indonesia dirintis dengan jalan panjang berliku, mulai dari tentara rendahan hingga berbintang,  memimpin organisasi tani hingga  cukong, merangkul  kelas Paria hingga Brahmana, merentang kolega dari Sabang sampai Yordania. Dengan Segudang jejak rekam yang Mas Wo punya itu,m emang terkesan naïf jika cinta Mas Wo terus di tolak.

Iya, sakit Mas : banget ! sejak  Golkar tak memilih Mas dalam konvensi, tumbang menjadi cawapres, kemudian menjelang detik akhir Mas Wo meraih kursi Presiden, nyaris tanpa batu sandungan, dengan cepat dan dhasyat, tiba-tiba mucul lelaki kurus kering menggunting dalam lipatan. Dan ternyata Ibu pertiwi memilih cinta lelaki ingusan itu…Saya tahu bagaimana nyeseknya.

“ tapi kok bisa ya”.

Bisa Mas Wo, itu saya alami juga, siapa tahu menginspirasi Mas Wo : jadi  begini - setelah berkali kali saya merangkai puisi, mencipta lagu, bertahun sabar menanti, mengejar cinta dari teras Mushola kampung  berujung di menara kembar Malaysia, gadis itu tak pernah menerima dan mencintai saya. “ Demi allah” katanya, “tak ada cintakku untukmu, walau hanya secuil debu”. Itu jawab sang gadis.

Emang sakit Mas Wo !

Padahal dia tahu,  untuk sampai padanya, demi ucapkan “aku ingin menjadi imam bagimu” perjalanan saya untuk sampai padanya, harus lalui rimba belantara, sembunyi  dari bengisnya serdadu tapal batas. Tapi dia tak mau tahu itu, nuraninya tetap katakan” tidak”.

Ah ! Mas Wo, lebih dahsyat, ketika janur kuning melengkung di halaman rumahnya, saya tak pernah percaya bahwa pria yang bersanding dan mencium mesra keningnya itu bukan saya, hampir saya katakan bahwa pernikahan mereka itu curang dan tidak sah. Dan ingin saya berseru kepada khalayak  “ saya suaminya ! bukan pemuda ingusan itu !. Saya berharap itu mimpi, rupanya itu nyata, saya baru sadar  ketika seorang kawan membisikan istighfar.

Sejak itu, saya tahu rasanya patah hati, gagal move on, terpuruk dan sejenis kalimat dramatis lainnya.

Tapi Mas Wo, hikmah dari semua itu, saya menemukan bahwa  cinta itu sangat jauh beda dengan ambisi. Kadang, kita terlalu bersemangat untuk memilki, jika sudah tergenggam, malas untuk memelihara. Tak jauh beda dengan Mas Wo yang suka dengan kuda, bagaimana payahnya mengejar kuda  ke Australia, setelah dikuasai, hanya sekedar untuk di kandangkan dan di tunggangi. Betapa tragisnya ambisi berdampak kepada nasib sang kuda bukan ?

Begitu juga dengan ambisi Mas Wo, ya ! Ambisi…wawancara Mas di BBC belum lama ini, sorot mata Mas Wo adalah gambaran seorang ambisius yang patah hati, gaya seorang pengarang handal yang gagal mengurai bukti. Sebagai orang yang pernaha patah hati, saya gak tega melihat Mas Wo keblinger seperti itu. Padahal, jika sikap Mas Wo lebih terhormat, Mas Wo akan dikenang, minimal  oleh 47% pemilih Mas sebagai seorang negarawan.

Move On lah Mas Wo, resepsi akan digelar, Ibu Pertiwi memilih lelaki kurus kerempeng itu untuk memimpin bangsa ini, yakinlah dunia tak selebar Indonesia, Mas masih bisa mendongak tegak, setidaknya dengan angka 47% suara. Atau jika tak kuasa menahan pedih, dengan latar belakang  Mas yang gagah berani itu, sebagai patriot pejuang bangsa, Mas bisa habiskan hari tua di Yaman atau Yordania, bahkan mengabdi untuk kemerdekaan Palestina, tidak menutup kemungkinan cinta Mas akan lebih bersemi  indah di jalur Gaza.

Atau :

Rujuk dengan Mba Titik, melewati hari tua, memandang cucu dengan manggut-manggut, sambil  sedikit membunyikan batuk khas usia senja, ketika sang cucu bergelagat nakal. Jika Mas Wo tak dikenang rakyat sebagai negarawan karena terlanjur mendengar kaum pembisik, paling tidak cucu-cucu Mas Wo akan mengenang Mas sebagai seorang kakek yang bijak, kakek yang  tetap berdehem, ketika sang cucu mulai menyimpang.

Memandang cucu sambil manggut-manggut itu pekerjaan indah Mas !

Salam Hangat

Pendukungmu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun