AnggaBratadharma, Bekasi (2/10/2016) :Â Pemilihan kepala daerah (Pilkada) untuk DKI Jakarta tinggal menghitung hari. Sejumlah calon gubernur dan calon wakil gubernur yang diusung masing-masing partai politik mulai bermunculan dan mulai menawarkan visi dan misinya untuk mengemban tugasnya sebagai pemimpin di Ibu Kota Indonesia ini. Tentu dengan berbagai macam solusi guna mengentaskan sejumlah masalah di kota yang merupakan pusat bisnis, politik, dan kebudahaan ini.
Jakarta memiliki luas sekitar 661,52 kilometer persegi (lautan: 6.977,5 km persegi). Jakarta merupakan tempat berdirinya kantor-kantor pusat BUMN, perusahaan swasta, dan perusahaan asing. Kota ini juga menjadi tempat kedudukan lembaga-lembaga pemerintahan dan kantor sekretariat ASEAN. Jakarta dilayani oleh dua bandar udara, yakni Bandara Soekarno–Hatta dan Bandara Halim Perdanakusuma, serta satu pelabuhan laut di Tanjung Priok.
Meski pemerintah telah berupaya membangun sejumlah infrastruktur memadai yang bisa menjawab berbagai macam persoalan di seluruh wilayah di Indonesia, namun Kota Jakarta tetap menjadi magnet untuk didatangi. Mereka yang mencoba peruntungan dari daerah juga tetap berpandangan bahwa Jakarta merupakan kota peruntungan untuk mengubah nasib. Sebagian besar dari mereka berhasil mencapai kesuksesan, tetapi tidak sedikit dari mereka yang gagal dan harus kembali ke kampung halaman dengan tangan kosong atau nekat menetap di Jakarta.
Membengkaknya jumlah penduduk di Kota Jakarta menjadi persoalan. Beberapa dampaknya adalah membengkaknya tingkat pengangguran sejalan dengan meningkatnya tingkat kejahatan. Kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin semakin melebar. Belum lagi persoalan bangunan atau pemukiman yang dibangun di atas tanah yang seharusnya tidak dibangun apapun bentuknya di atas tanah itu. Berbagai macam persoalan terus hadir di kota yang menjanjikan ini.
Entah karena Jakarta sudah menjadi kota metropolitan dan menjadi 'wadah' politik untuk bisa meningkatkan karir seorang politisi di dunia politik atau memang berdiri atas idealisme untuk menyelesaikan sejumlah persoalan krusial, tetapi Jakarta tetap menjadi sentral ketika berbicara soal pemilihan kepala daerah. Frame itu akan terus terjadi meski di berbagai macam daerah lainnya menawarkan sejumlah potensi dan peluang serta kesempatan guna  membenahi bangsa ini dari daerah.
Walau akan berlangsung di 2017, namun gelaran Pilkada Jakarta sudah mulai diperbincangkan sekarang ini. Sejalan dengan kondisi itu, komunitas, partai politik, organisasi masyarakat, relawan, dan istilah-istilah lainnya yang berkaitan dengan kondisi itu mulai bermunculan dan mendukung masing-masing calonnya untuk memimpin kota dengan jumlah penduduk sekitar 10 juta jiwa lebih itu.
Tidak ditampik, memang banyak yang berkepentingan di Jakarta sehingga kota ini menjadi magnet tersendiri. Karenanya, tidak salah jika banyak dari mereka yang menyatakan diri untuk meramaikan bursa calon gubernur dan wakil gubernur di DKI Jakarta. Adapun kondisi ini harus benar-benar diperhatikan secara saksama oleh warga Jakarta, dan jangan sampai menelan secara utuh sejumlah informasi yang beredar terutama yang datang dari media sosial.
Di era teknologi informasi yang semakin canggih sekarang ini, memungkinkan penyebaran informasi lebih maksimal dengan ongkos lebih murah. Pun persoalan identitas diri dari penyebar informasi melalui sosial media bisa disembunyikan dan tidak terdeteksi secara langsung oleh para warga dunia maya. Keuntungan itu yang bisa memberikan efek negatif apabila informasi yang diberikan tidak benar dan membenarkan golongan tertentu. Lagi-lagi, masyarakat yang literasi sosial media rendah menjadi korban untuk kesekian kalinya.
Jika dikaitkan dengan sosial media dan kampanye para calon gubernur dan wakil gubernur itu maka pertanyaanya akan masuk ke ranah efektivitas sosial media dalam kesuksesan perubahan mindset warga Jakarta atas visi misi calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta yang tujuannya duduk sebagai orang nomor satu dan dua di Jakarta. Pertanyaan semacam ini memang mirip permasalahan penelitan dalam sebuah skripsi atau tesis, namun tidak ada salahnya mencoba mencermati pertanyaan itu. Apalagi, banyak dari kita sering menelan secara utuh sebuah informasi tanpa mencerna dan mengecek kebenarannya.
Untungnya, KPU DKI Jakarta memiliki aturan dan kebijakan terkait kampanye menggunakan sosial media. Pertama, akun sosial media pasangan calon harus didaftarkan ke KPU DKI Jakarta paling lambat satu hari sebelum masa kampanye. Kedua, pasangan calon harus mengisi formulir yang disiapkan KPU DKI Jakarta terkait akun media sosial yang digunakan. Formulir yang harus diisi itu bernama BC4 KWK (Kepala Daerah-Wakil Kepala Daerah). Ketiga, setiap pasangan calon yang berkampanye lewat sosial media tidak boleh menyebarkan isu SARA atau membangkitkan sentimen rasial.