[caption caption="Ilustrasi (sojo.net)"][/caption]Bekasi, AnggaBratadharma (2/9/2015) - Pada dasarnya tiap individu memiliki keinginan untuk bisa mendapatkan rasa damai dalam dirinya, termasuk melihat sebuah perdamaian atas apa yang mampu dilihat dari sekelilingnya. Namun, individu sekarang terasa sangat jauh dengan rasa damai itu, termasuk melihat sebuah perdamaian pada sekelompok masyarakat di suatu negara.
Ketika abad ke-20 dimulai, ada keyakinan umum bahwa kemajuan manusia itu tidak terbatas. Namun, idealisme besar dan tujuan luhur yang di dambakan sejak permulaan abad itu justru harus luntur oleh ideologi kaum ekstremis yang menyebar cepat ke seluruh pelosok di dunia, yang selanjutnya ada sebuah peristiwa besar tentang pembantaian manusia secara besar-besaran.
Bahkan, pada abad selanjutnya, sulit untuk tidak melihat adanya sebuah tragedi dan kebrutalan manusia yang tiada henti, kerusakan berat terhadap lingkungan hidup secara global, kesenjangan sosial yang teramat keras, bahkan ketimpangan dari segi perekonomian antara mereka yang disebut orang kaya dengan mereka yang lazim disebut orang miskin.
Indonesia sendiri hingga sekarang bisa dikatakan belum terbebas dari berbagai penjajahan dan masih jauh dari rasa perdamaian yang menyelimuti sanubari tiap individu. Meski sudah berpuluh-puluh tahun Indonesia merdeka dan terbebas dari belenggu penjajah, namun kenyataanya Indonesia belumlah terbebas dari belenggu penjajahan yang sebenarnya, baik itu kemiskinan akut, penjajahan dalam aspek ekonomi, kekerasan, ketidakadilan pada lini-lini kehidupan, penghilangan hak-hak manusia, kehilangan hak hidup layak maupun mendapat pendidikan memadai.
Bahkan, umat manusia di seluruh penjuru dunia masih terus dihantui dengan rasa ketakutan yang begitu mendalam, seperti adanya ancaman senjata pemusnah massal, praktek-praktek konspirasi besar yang berorientasi kepada harta, tahta dan wanita, perusakan lingkungan besar-besaran tanpa belas tanggung jawab dan dampaknya kepada pemanasan global, dan merebaknya kejahatan-kejahatan yang brutal dan belum ada tindakan teramat tegas untuk memberikan efek jera.
Sebut saja persoalan yang menyangkut aksi premanisme di Indonesia, pemberontakan yang dilakukan terhadap pemerintahan Indonesia, pembantaian massal di Palestina oleh zionis Israel, pembantaian massal di Afghanistan, dan kasus pembantaian para warga di Mesir.
Pada hakikatnya, tidak bisa dipungkiri kehidupan kita sekarang lebih layak dibandingkan saudara-saudara kita saat hidupnya dalam keadaan perang dunia, termasuk saat penjajahan merajalela di Tanah Air. Kita termasuk orang-orang yang menikmati indahnya matahari pagi yang bersinar cerah, menikmati dinginya air hujan yang turun, menikmati sepoinya angin tertiup, dan menikmati pemandangan jingga saat matahari terbenam.
Meski kita mampu merasakan itu, namun jauh dari lubuk hati yang mendalam masih banyak persoalan yang belum tuntas dan terbatas pada persoalan gengsi, tanggung jawab, keserakahan akan harta, kekuasaan, dan tidak tahu malu akan keberadaanya sebagai mahluk sosial. Hal-hal itu membuat kita, atau masyarakat Indonesia masih jauh dari rasa damai. Perdamaian seakan hanya selintas waktu, yang sulit dipertahankan pada waktu yang lama.
Apa yang diperlukan agar sejarah bisa berubah, yakni keluar dari era kegelapan menuju era cahaya terang? Cahaya terang yang seperti apa, yang bisa bertahan begitu lama untuk menyinari perjalanan kedamaian bagi tiap individu di Indonesia, termasuk di dunia? Dan, siapakah yang bisa membawa cahaya terang itu dan bertahan hingga batas waktu yang telah ditentukan, untuk nantinya dilakukan estafet perubahan pemegang cahaya terang itu? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang mungkin harus kita ajukan kepada diri sendiri.
Presiden Soka Gakkai International Daisaku Ikeda, seorang penulis yang merupakan tokoh penerima Medali Perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1983, mengatakan, perdamaian merupakan anugerah atas pengendalian diri dan dialog yang tulus, serta suatu pengungkapan rasa hormat yang paling tinggi. Perdamaian harus dimulai di tingkat individu, barulah kemudian menyebar ke sendi-sendi masyarakat yang terdalam.
Ikeda sendiri merupakan di antara tokoh yang terus memperjuangkan perdamaian terjadi di seluruh tanah didunia ini. Asal muasal pemikiran tentang perdamaian sendiri bermula dari terjadinya perang di negara asalnya, Jepang. Saudaranya merupakan korban peperangan. Saudaranya menjadi korban penyebrangan fatal ke Imphal, India.