Jakarta, AnggaBratadharma (4/4/2014)---Pemilihan umum (Pemilu) legislatif tinggal beberapa waktu lagi. Masyarakat di seluruh wilayah Indonesia akan menjadi peserta pesta demokrasi yang diadakan tiap 5 tahun sekali. Momentum ini menjadi penting karena merupakan penentu bagaimana masa depan bangsa Indonesia di masa-masa yang akan datang.
Menjelang pencoblosan, calon anggota legislatif (caleg) sudah memanaskan mesin politiknya untuk merebut suara rakyat, tentu dengan harapan dapat duduk di parlemen, baik ditingkat DPR RI maupun ditingkat DPD RI. Berbagai cara dilakukan caleg demi menjadi wakil rakyat. Bahkan, tidak jarang cara 'nakal' dilakukan demi kekuasaan.
Anggota DPR memang sering menjadi sorotan oleh masyarakat, mengingat kinerjanya terbilang belum optimal. Target penciptaan undang-undang saja masih jauh dari yang ditargetkan. Di sisi lain, anggota DPR justru sering melakukan studi banding ke luar negeri yang terkadang hasilnya tidak signifikan terhadap tujuan awal.
Media massa di Tanah Air pun semakin semangat memberitakan berbagai kegiatan anggota DPR. Mungkin sudah terbilang sering di layar TV atau sebuah foto di surat kabar terpampang anggota DPR yang tertidur ketika sidang soal rakyat, atau anggota DPR yang berdebat tanpa bobot. Ironinya, hal tersebut tidak ada perbaikan signifikan.
Di era demokrasi, anggota DPR terpilih melalui mekanisme pemilihan umum. Dalam mekanisme ini, rakyat memegang peranan penting untuk memilih siapa wakil rakyat yang akan duduk di Gedung DPR. Sistem demokrasi tersebut sudah menjadi acuan dalam konstitusi di Indonesia.
Sayangnya, masih banyak masyarkat Indonesia yang belum paham mengenai sistem demokrasi di Tanah Air, termasuk berkontribusi pada pesta demokrasi. Padahal, pesta demokrasi menentukan bagaimana anggota DPR yang terpilih membangun wilayah masing-masing sesuai dengan dapil yang diwakili.
Dampak dari persoalan rendahnya pemahaman masyarakat akan sistem demokrasi adalah banyak caleg memanfaatkan kelemahan tersebut dengan iming-iming janji manis agar dipilih oleh rakyat, baik diberikan kaos gratis bergambarkan caleg dan partai politik yang menaunginya, mukena, topi, pin maupun uang dengan kisaran Rp50 ribu hingga Rp100 ribu.
Masyarakat Indonesia yang sebagian besarnya hidup di dalam garis kemiskinan tentu termakan dengan tawaran tersebut. Akhirnya, banyak rakyat memilih anggota DPR yang memberikan janji manis di depan tapi melupakan janji ketika sudah duduk sebagai anggota DPR RI yang terhormat. Siapapun Dia, harus sadar bahwa jangan termakan janji caleg yang tidak berbobot.
Tidak dipungkiri, persoalan semacam itu membuat masyarkat tidak peka terhadap pesta demokrasi. Bahkan, sebagian besar masyarakat memilih Golput atau tidak menggunakan hak pilihnya di Pemilu Legislatif, termasuk Pemilihan Presiden. Upaya Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menurunkan tingkat golput tersebut pun masih membutuhkan bantuan dari berbagai pihak.
Memang sudah menjadi hak tiap individu di dalam masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya. Namun, jika tidak menggunakan hak pilih dikarenakan sudah muak dengan caleg, sudah muak dengan janji manis caleg, sudah muak dengan kinerja anggota DPR, sudah muak dengan aksi korupsi yang dilakukan anggota DPR, dan semacamnya maka sangat disayangkan. Sebab, harus dipercayai bahwa masih banyak caleg yang memegang janjinya, caleg yang berjuang untuk rakyat, dan caleg yang berjuang untuk pemerataan kesejahteraan.
Frame anggota DPR selama ini buruk sedikit banyak dipengaruhi oleh pemberitaan yang dilakukan oleh media massa. Dengan berbagai kepentingan, media massa membentuk opini bahwa kinerja anggota DPR minus dan tidak layak menjadi wakil rakyat. Media massa di Indonesai minim memberitakan hal positif yang pernah ditorehkan anggota DPR. Padahal, banyak anggota DPR yang menyelesaikan Pekerjaan Rumahnya (PR).