"Keberagaman bukanlah ancaman, melainkan peluang untuk belajar lebih banyak, mencintai lebih dalam, dan hidup lebih bermakna." -- Nelson Mandela
Meniti Jejak Harmoni dalam Keberagaman
Keberagaman adalah salah satu keajaiban yang membuat Indonesia menjadi negeri yang unik. Namun, keberagaman ini juga menjadi tantangan yang menuntut kita untuk terus menjaga harmoni. Sebagai siswa Kolese Kanisius yang mengikuti ekskursi ke Pondok Pesantren Nur El Falah, saya, Brandon John Handana, mendapatkan kesempatan untuk menyelami makna keberagaman tersebut secara langsung melalui pengalaman nyata yang membuka mata dan hati. Â
Pagi di Pesantren
Matahari belum terbit ketika bunyi adzan subuh menggema, membangunkan kami dari lelap di pesantren. Suasana dini hari yang hening terasa syahdu, membalut kami dalam perenungan akan kesederhanaan hidup. Para siswa pesantren dengan gesit mempersiapkan diri untuk sholat subuh, sementara kami, meski mengantuk, turut serta dalam kegiatan ini. Semangat mereka memancarkan rasa tanggung jawab yang menginspirasi. Dalam dinginnya pagi itu, saya merasakan hangatnya solidaritas yang tumbuh tanpa batas agama maupun latar belakang. Â
Saat hari bergulir, jadwal mereka terasa begitu padat. Dari pelajaran di kelas hingga kegiatan ekstrakurikuler, semua dilakukan dengan penuh dedikasi. Saya kagum melihat bagaimana mereka menjaga keseimbangan antara kegiatan rohani dan duniawi. Ini mengingatkan saya akan pentingnya manajemen waktu dalam kehidupan, sebuah pelajaran berharga yang akan saya bawa pulang ke Jakarta. Â
Menghargai Kesopanan dan Kesederhanaan
Salah satu momen yang paling berkesan terjadi ketika seorang siswa pesantren lewat di depan saya dan menundukkan badan sambil berkata, "Permisi, Kak." Gaya sopan ini terasa begitu tulus, sederhana, namun penuh makna. Di Jakarta, budaya seperti ini semakin langka, tergantikan oleh kesibukan dan individualisme. Peristiwa kecil ini membuat saya merenung tentang betapa pentingnya menghargai orang lain melalui tindakan sederhana. Â
Kesederhanaan juga tercermin dalam kehidupan sehari-hari di pesantren. Tanpa ponsel dan media sosial, para siswa justru lebih erat dalam berkomunikasi dan berbagi cerita. Mereka menunjukkan kepada saya bahwa kebahagiaan tidak selalu berasal dari kemewahan, melainkan dari hubungan yang mendalam dengan sesama. Â