Kami panggil kau "Mama" karena kami anggap engkau juga ibu kami. Ibu tempat kami berkeluh kesah atas pergumulan yang sedang dihadapi. Ibu yang mau mendengarkan kegundahan kami. Ibu yang dapat membantu menyampaikan suara kami kepada Bapak di sana.
Kami sisihkan penghasilan kami untuk bekal ke tempatmu, Mama. Ada juga teman-teman yang membantu. Jelas kami bukan anak manja, berharap ada donatur yang menjamin semuanya serba gratis. Dan pasti Mama juga tahu, Sinterklas tidak sedang bertugas di bulan ini. Jadi kalau Mama dengar cerita bohong tentang kami, yakinlah kami, yang juga anak-anakmu ini, datang dari jauh, bukan dengan gaya peminta-minta.
Kami mau Mama dengar cerita kami. Bukan dongeng gagah berani yang baru dibuat hanya untuk menyenangkan Mama.
Kami mau Mama dengar kami. Bercerita tentang honai besar kami yang hampir roboh. Bukan cerita mereka yang hanya lewat dekat honai besar kami. Bukan cerita mereka yang bahkan belum pernah datang ke tempat kami.
Kami mau Mama dengar kami; sambil lihat mata kami. Karena Mama pasti tahu mata siapa yang sedang berbohong.
Ah, Mama juga pasti maklum. Hari ini kami tidak bawa semua catatan angka dan data statistik tentang kami. Kami mau Mama lihat kami, yang ada di balik semua hitungan itu.
Mama juga pasti tahu betul siapa yang suruh kami datang. Istri dan anak-anak tentunya. Ditambah lagi kakak adik dan saudara-saudara kami di kampung yang mulai resah. Melihat piring makan kami hampir pecah.
Mama tolong sampaikan sama Bapak.
Hari ini kami masih mau panggil Mama.
Mama Kota, bukan Ibu Kota...
Tembagapura, 7 Maret 2017
Salam hormat untuk teman-teman GSPF di Mama Kota hari ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H