“Seorang terpelajar harus juga berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan” – Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia
Siapa yang tidak mengenal Pramoedya Ananta Toer atau lebih sering dipanggil Pram? Setiap orang yang menyukai sastra pasti pernah membaca karyanya Pram. Quotes di atas diambil dari buku pertamanya dalam tetralogi pulau Buru. Quotes tersebut bahkan ada di cover belakang buku itu. Hal ini menandakan bahwa quotes tersebut mempunyai makna tersendiri dibandingkan quotes lainnya di dalam buku itu. Apa maknanya?
Adil, sebuah kata yang sering kita dengar di kehidupan kita. Adil tidak terbatas pada suatu hal yang dibahas di pengadilan. Adil ada di kehidupan sehari-hari. Adil, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia versi online adalah (1) sama berat; tidak berat sebelah; tidak memihak, (2) berpihak kpd yg benar; berpegang pd kebenaran; (3) sepatutnya; tidak sewenang-wenang.[1] Dari definisi tersebut, saya simpulkan adil sebagai suatu sikap yang objektif dalam pengambilan keputusan dan tidak sewenang-wenang.
Sebelum membahas adil pada quotes Pram, ada baiknya kita melihat teori keadilan yang sudah dirumuskan oleh para filsuf. Plato dalam dialognya Politeia, merumuskan keadilan dengan meminjam mulut seorang sofis Thrasymachos bahwa keadilan adalah keuntungan bagi yang kuat[2]. Aristoteles dalam Nicomachean Ethics juga mengatakan bahwa keadilan adalah yang tidak bertentangan dengan hukum.[3] Imanuel Kant mengatakan bahwa keadilan adalah yang sesuai dengan tatanan akal budi pada asas-asas rasio.[4] John Rawls dengan Theory of Justice berpendapat bahwa keadilan dapat dicapai jika hak dasar manusia sudah dipenuhi. Jacques Derrida berpendapat bahwa keadilan melampaui hukum yang bisa didekonstruksi.
Dari sekian banyak teori keadilan yang dirumuskan oleh para filsuf, hampir tidak ada satupun teori yang merumuskan keadilan dalam ruang lingkup yang kecil. Hampir semua filsuf merumuskan teori keadilan berdasarkan ruang lingkup yang luas yaitu negara. Teori keadilan dibentuk untuk kedamaian masyarakat banyak dan biasanya digunakan di pengadilan. Teori keadilan para filsuf terlalu rumit untuk diterapkan dalam ruang lingkup yang lebih sempit yaitu kegiatan sehari-hari manusia.
Pram dengan quotenya itu membuat sebuah rumusan keadilan yang menurut saya mudah untuk diterapkan di dalam kegiatan sehari-hari. Di dalam roman Bumi Manusia, Pram sudah menggambarkan bagaimana seharusnya kita bersikap adil. Bahkan hal ini masih digambarkan oleh Pram pada roman selanjutnya. Minke sebagai tokoh utama selalu teringat dengan quote tersebut.
Hal ini terlihat dari salah satu bagian yang menceritakan bagaimana Minke mengubah sikapnya ketika dia bertemu seorang budak. Budak itu sujud di depan Minke. Minke yang keturunan ningrat awalnya merasa dirinya di atas budak itu. Tetapi dia teringat dengan quote itu lalu mengubah sikapnya. Lalu ia meminta si budak untuk berdiri dan tidak perlu bersujud lagi. Ia merasa tidak berlaku adil dalam dirinya sendiri ketika ia merasa orang lain itu berada di bawahnya.
Kita bisa menggunakan quote itu di dalam kegiatan sehari, tidak terbatas pada masalah-masalah di pengadilan. Quote ini juga mengajak kita untuk berpikir kembali apakah di dalam diri kita sendiri sudah berlaku adil atau belum. Jika kita hanya adil dalam pikiran tapi jika tidak dalam perbuatan maka kita belum adil. Salah satu contoh dari quote ini adalah ketika kita melihat seorang berpakaian lusuh lalu kita merasa bahwa kita berada di atasnya. Orang itu tidak pantas bersandingan dengan kita. Ini lah yang mungkin diinginkan Pram kepada pembacanya. Pram ingin kita menghormati setiap orang yang ada di sekeliling kita. Tidak peduli orang itu budak atau bukan.
Pram memang sastrawan terbesar di Indnoensia. Karya-karyanya tidak hanya indah tetapi juga mempunyai nilai-nilai tersendiri yang dapat diterapkan di dalam kehidupan. Pram tidak hanya membuat kata-kata menjadi sebuah cerita belaka melainkan juga membuat kata-kata itu menjadi hidup berdampingan dengan kita. Mungkin quote di atas perlu dimodifikasi sedikit menjadi setiap orang harus juga berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.
“Apologis, Bung, adalah sikap tidak adil sejak dalam pikiran” – Ayu Utami, Larung
[1] http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php, diakses pada 27/01/2012 pukul 20.17 WIB