Mohon tunggu...
Bramanti Kusuma
Bramanti Kusuma Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

A Philosophy Student | bramisthewalrus.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mencari Tuhan

19 Februari 2012   07:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:28 1375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Perdebatan mengenai ada atau tidaknya Tuhan sudah mengemuka sejak lama. Di dalam agama tertua yaitu Hindu, Tuhan digambarkan dalam berbagai bentuk dari monoteisme, politeisme, panteisme sampai ateisme. Di dalam agama samawi seperti Islam dan Kristen, Tuhan bersifat monoteisme. Pada zaman Yunani kuno, Tuhan bersifat politeisme dan digambarkan dengan mitos dewa-dewi yang mempunyai tugas yang berbeda. Lalu orang-orang Yunani mengganti sifat Tuhan mereka yang politeisme menjadi monoteisme setelah para filsuf pada zaman itu mencoba melepaskan pemikiran orang-orang Yunani dari mitos dewa-dewi itu.

Revolusi pemikiran yang diawali oleh para filsuf Yunani membuat rasio manusia mempunyai kedudukan yang tinggi. Semua hal dijelaskan dengan rasio termasuk eksistensi Tuhan. Peran agama mulai tergantikan oleh ilmu pengetahuan dan filsafat. Tuhan mulai dijelaskan secara rasional, bukan lagi dijelaskan melalui wahyu atau kitab suci.

Perkembangan rasio yang begitu pesat membuat para kaum agamawan menjadi khawatir. Mereka khawatir rasio akan memusnahkan agama dan Tuhannya. Filsafat yang mendukung perkembangan rasio dibatasi ruang geraknya pada masa abad pertengahan pada sekitar masa 4-16 M. Perkembangan rasio menjadi terhambat. Hingga akhirnya pada era Renaissance rasio kembali mendapatkan tempatnya di kedudukan tertinggi.

Perkembangan rasio pada era Renaissance membuat filsafat dan ilmu pengetahuan semakin maju. Para filsuf menjelaskan Tuhan dengan premis-premis dan argumen ontologi dan epistemologi. Sedangkan para ilmuwan menjelaskan Tuhan dan alam dengan rumus-rumus fisika. Ilmuwan terbesar di dunia hingga saat ini, Sir Isaac Newton, menjelaskan bahwa alam bekerja dengan sendirinya secara teratur. Deisme Newton menganggap Tuhan tidak ikut campur dalam proses bekerjanya alam.

Selanjutnya persoalan tentang Tuhan dijelaskan oleh filsafat khususnya melalui aspek ontologi dan epistemologi. Hasilnya pun beragam, ada yang percaya bahwa Tuhan itu dan ada yang tidak. Descartes, Spinoza, Kant dan Hegel adalah beberapa filsuf yang percaya adanya Tuhan dan mereka jelaskan melalui filsafatnya. Hume, Comte, Feurbach, Kierkegaard dan Nietzsche adalah contoh filsuf-filsuf yang tidak percaya adanya Tuhan melalui filsafatnya.

Ilmu pengetahuan tidak mau kalah dari filsafat. Para ilmuwan mencoba menjelaskan alam dengan teori-teori fisika yang didukung oleh berkembangnya teknologi. Albert Einstein adalah salah satu ilmuwan yang mempunyai peran yang besar dalam memeceahkan teka-teki tentang alam. Teori relativitasnya disebut sebagai pembuka kotak pandora untuk memahami alam. Setelah alam dipahami, para ilmuwan mulai mencoba memecahkan teka-teki selanjutnya yaitu Tuhan. Menurut mereka, ilmu pengetahuan sudah menjelaskan semuanya. Teori-teori fisika, kimia dan biologi sudah cukup untuk menjelaskan alam semesta. Sains sudah menggantikan Tuhan. Lebih lanjut lagi, Tuhan itu bahkan tidak ada!

Perdebatan tentang ada atau tidaknya Tuhan masih terjadi sampai saat ini. Ilmuwan yang percaya sepenuhnya pada sains menolak mentah-mentah eksistensi Tuhan meskipun ada juga ilmuwan yang masih percaya tentang adanya Tuhan. Begitu juga di ranah filsafat, perdebatan mengenai adanya Tuhan terus terjadi. Ada persamaan diantara perdebatan di ranah filsafat dan sains yaitu perdebatan yang lepas dari kitab suci, rasio menjadi senjata dalam perang intelektual tersebut.

Perdebatan yang sia-sia

Perdebatan mengenai eksistensi Tuhan seperti berlomba menuju ujung lautan. Perahu adalah rasio dan ujung lautan adalah Tuhan. Perahu yang paling cepat sampai ujung lautan adalah pemenangnya. Jika perahu itu adalah perahu atheis, maka argumen Tuhan itu ada salah. Sebaliknya, jika perahu theis yang menang maka Tuhan itu memang ada.
Sesungguhnya, perlombaan itu sia-sia bahkan absurd. Lautan itu tidak terbatasi. Ujung lautan yang kita lihat bukanlah batas dari laut itu. Kita seolah-olah sudah sampai ujung laut tetapi kita sampai di sana ternyata masih ada ujung lagi. Terus menerus sampai akhirnya kita sadar bahwa kita kembali ke tempat permulaan lomba. Ujung lautan adalah fatamorgana bahwa di ujung sana itu adalah batas akhir dari lautan.

Perdebatan mengenai ada atau tidaknya Tuhan tidak akan pernah selesai begitu saja. Kita tidak bisa menentukan siapa yang benar hanya berdasarkan perdebatan antar rasio. Tuhan berada di luar jangkauan rasio manusia. Kemenangan di dalam sebuah perdebatan tentang Tuhan tidak bisa dijadikan patokan bahwa ia memegang kebenaran eksistensi Tuhan. Perdebatan ini tidak akan pernah habis dan akan sia-sia. Sama seperti mendayung sebuah perahu menuju ujung lautan, kita tidak akan pernah sampai ujung lautan itu. Kita justru kembali ke titik semula tanpa pernah sampai di ujung lautan. Begitupun halnya dengan perdebatan ini, akan terus berputar-putar. Kita seolah-olah sudah mendapatkan jawaban yang benar padahal kita tidak mendapatkan apa-apa.
Tuhan hanya dapat dimengerti oleh dalam diri kita terutama iman. Sama seperti hati dalam bentuk perasaan, iman adalah sesuatu yang juga tidak bisa dijelaskan dengan rasio. Tuhan juga merupakan masalah pribadi setiap manusia. Persoalan mengenai ada atau tidaknya Tuhan masuk ke dalam ruang privat seorang manusia. Hanya orang itu yang dapat menentukan apakah Tuhan itu ada atau tidak. Dia tidak dapat memaksakan kepercayaannya itu kepada orang lain. Sebaliknya orang lain juga tidak dapat memaksakan kepercayaannya kepadanya.

Ada baiknya kita mengikuti etika seorang Albert Camus dalam persoalan mengenai kepercayaan terhadap eksistensi Tuhan. Camus yang seorang atheis tetap menghormati orang-orang yang percaya adanya Tuhan. Lebih baik juga kita mengurusi diri kita sendiri dan hubungan kita dengan Tuhan yang kita yakini. Perdebatan tentang ada atau tidaknya Tuhan tidak menjamin kita untuk mengenal Tuhan seutuhnya. Sekarang mari kita merenung dan mencoba berkomunikasi dengan Tuhan secara personal agar kita lebih mengenalnya. Tuhan tidak dicari melalui rasio dan perdebatan melainkan melalui perenungan dari diri sendiri melalui iman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun