Mohon tunggu...
Bramanti Kusuma
Bramanti Kusuma Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

A Philosophy Student | bramisthewalrus.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerita Tentang Hujan (1)

1 Februari 2012   04:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:12 793
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Langit yang sendu selalu membawa pesan. Pesannya, tak lain tak bukan adalah hujan akan segera datang. Kadang angin juga membawa pesan seperti langit yang sendu itu. Pesan dari sang angin: hujan ada di belakangku, bersiaplah makhluk bumi. Pesan itu tidak pernah bohong meskipun membutuhkan waktu yang lama untuk membuktikannya.

Hujan akhirnya datang. Setiap tetes airnya mengandung sebuah kata. Seperti biasa, hujan selalu membawa cerita. Cerita apa saja. Sedih, senang, rindu dan masih banyak yang lainnya. Kali ini hujan membawa cerita rindu. Rinduku padamu.

Baru satu bulan kita berpisah. Bukan benar-benar berpisah. Hati kita tetap menyatu, hanya saja ada jarak yang memisahkan raga kita. Jarak yang jauh. Aku ada di benua Eropa sedangkan kamu ada di benua Asia. Di setiap waktu yang tidak berisi, kenangan kita selalu hadir di dalam pikiranku. “Kita bisa membuang ingatan, tetapi kita tidak bisa menolak kenangan”, begitu kata Fahd Djibran, penulis favoritku.

Kenangan antara kita dengan hujan. Sore itu langit menumpahkan airnya ke bumi sedikit demi sedikit, gerimis. Kita baru saja selesai rapat untuk acara pentas seni sekolah. Hujan membuat kita tidak beranjak dari sekolah. Hanya kita. Lalu kamu mulai bercerita tentang hujan. Katamu, hujan selalu membawa cerita, setiap tetes airnya mengandung sebuah kata. Lalu kamu meneruskan ceritamu tentang hujan.

Aku tinggalkan kamu berduaan dengan hujan sebentar. Langit masih meneteskan airnya, membawa kata untuk menemanimu. Aku sempatkan membeli cokelat panas sekembalinya dari toilet. Kamu meneruskan ceritamu. Cerita, gelak tawa dan segelas cokelat panas mengusir hawa dingin sore itu. Kamu menyelesaikan ceritamu, tapi hujan belum selesai. Aku menawarkan tumpangan dan mengajak kamu untuk menerobos hujan. Aku tawarkan jaketku dengan sedikit memaksa. Tapi kamu tetap menolak. Aku pun memasukkan jaket ke dalam tasku. Biarlah kita berbasah-bahasan berdua di atas sepeda motor.

Di sepanjang jalan kita terus bertukar kata. Tetes demi tetes air hujan mulai membasahi seragam kita. Kata-kata mulai berbaur dengan tetes air hujan. Kata-kata juga mengusir angin dingin yang menerpa tubuh kita. Tampak di kaca helmku titik-titik dari bias cahaya lampu kendaraan di depanku. Setiap titiknya memancarkan warna yang berbeda. Ketika aku memfokuskan mataku pada titik-titik itu, ternyata titik-titik itu tidak hanya memancarkan warna tetapi juga mengandung setiap fragmen dari wajahmu.

Titik-titik itu terpisah satu sama lain. Aku mencoba mengumpulkan titik-titik itu menjadi satu buah titik besar agar aku bisa melihat keseluruhan wajahmu di kumpulan titik-titik itu. Hujan masih mengiringi perjalanan pulang kita. Katamu, setiap tetes air hujan mengandung sebuah kata dan hujan selalu membawa cerita. Mengingat hal itu aku ingin mengumpulkan setiap tetes air hujan. Aku ingin mengumpulkan kata-kata dari tiap tetes air hujan. Aku percaya padamu bahwa hujan selalu membawa cerita. Aku merangkai tetes air hujan yang mengandung kata itu menjadi sebuah cerita tentang kita. Cerita dari hujan sore itu aku beri judul ‘tentang kita’.

Sore ini hujan turun di Paris. Aku rindu padamu. Lewat jendela kamarku, aku sampaikan salam rinduku melalui hujan. Siapa tahu hujan mau menyampaikannya padamu. Lalu aku langsung meneleponmu. Rindu ini sudah tidak tertahankan lagi. Akhirnya suara kamu terdengar. Seperti biasa, kita saling menanyakan kabar masing-masing. Lalu kamu berkata bahwa di Jakarta sedang turun hujan. Di Paris juga sedang turun hujan kataku. Betapa anehnya kita, berada di suatu tempat yang berjauhan tetapi kita masih bisa merasakan hujan bersama-sama. Aku di Paris, kamu di Jakarta. Keduanya sama-sama sedang diguyur hujan. Tiba-tiba aku merasa dekat denganmu.

Tapi aku lega. Ternyata hujan menyampaikan salam rinduku padamu. Tiap tetes air hujan yang turun dari langit mengandung setiap kata dari rasa rindu. 3 tetes air yang berjatuhan bersamaan berisi kata ‘aku’, ‘rindu’, dan ‘kamu. Aku rindu kamu. Aku tak salah. Hujan kali ini membawa cerita tentang rindu. Rinduku padamu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun