Kulihat wajahnya kian memucat. Warna kedua bibirnya redup membiru, tak lagi merah seperti dulu. Penyakit ini terlalu membuatnya menderita. Dokter telah memprediksi ini adalah hari terakhir baginya. Tidak hanya baginya, ini adalah hari terakhir bagi kami semua yang menyayanginya.
Melihatku meneteskan air mata, dia menggelengkan kepalanya. Pertanda darinya untukku agar tidak menangis. Aku selalu ingat akan pesan yang selalu dia katakan padaku, "apapun dan bagaimanapun cobaan yang datang menghampiri kita, jangan hadapi dengan tangisan, hadapi saja dengan senyuman". Â Di saat seperti ini, sangat sulit bagiku untuk menahan air mata. Melihatnya sekarat dan siap menemui kematian yang telah teramat dekat. Saat-saat terakhir yang sangat menyayat hati.
Kini dia hanya memandang lurus keatas. Merasakan bahwa saatnya telah tiba, sejenak dia melihat ke arahku, tersenyum, seperti yang selalu dia lakukan. Senyuman ini mungkin adalah senyuman terakhir yang bisa dia lakukan. Kemudian dia memejamkan mata, menghembuskan nafas terakhirnya.
Di saat tekahirnya pun dia masih tersenyum. Kekasih yang telah bertahun-tahun menemaniku, yang selalu mengajarkanku arti kesabaran, ketegaran, dan arti cinta yang sebenarnya kini pergi untuk selamanya. Hanya meninggalkan kenangan manis yang tak terlupakan.
Tak kuasa menahan tangis, aku pergi meninggalkan ruangan itu. Duduk di bangku taman rumah sakit, kini aku mengerti bagaimana sakitnya kehilangan. Tuhan begitu tidak adil padanya, di usia semuda itu, dengan segala kebaikannya, Dia tega mengambil hidupnya. Lagit pun gelap menghitam. Rintik hujan satu per satu jatuh membasahi hatiku yang sedang berduka. Inikah yang hanya bisa Tuhan lakukan.
Aku tidak boleh menangis, aku harus mengingat pesannya. Biarlah langit saja yang menangis, aku akan berusaha tegar sepertinya. Tapi ternyata menjadi tegar tak semudah yang terlihat. Terlalu sesak dan sakit dada ini menolak kemauan hati untuk menangis.Sakit yang teramat dalam seakan menusuk dadaku. Hujaman mata pisau mungin tak sebanding dengan sakit yang aku rasakan saat ini. Rasa sakit akan kehilangan seseorang yang aku cintai sepenuh hati.
"Hidup ini indah bila kita mengetahui bagaimana seharusnya kita berperan," itu adalah kata-kata yang selalu dia katakan padaku. Banyak perkataannya yang masih tidak kumengerti hingga saat ini. Aku tidak rela dia pergi, aku benar-benar tidak rela. Terlalu banyak kenangan tentang dirinya yang tak mungkin bisa aku lupakan, dan tidak ingin aku lupakan. Biarlah aku terdiam disini mengingat semua cerita tentangnya. Di bawah hujan ini, aku masih bisa merasakan bahwa dia ada disampingku. Selalu tersenyum saat aku memandang wajahnya.
Keesokan paginya aku menghadiri upacara pemakamannya, menaburkan bunga di atas pusaranya. Dadaku kembali sesak melihat nama yang terukir di batu nisan itu. Tanpanya aku hanya merasa sendiri dalam hidup ini.
Hingga semua telah pergi, aku masih tetap berdiam disana. Masih bisa teringat jelas bagaimana dia menemani hari-hariku dengan berbagai tingkahnya. Aku hanya bisa tersenyum simpul mengingat itu semua. Di samping batu nisan kutemukan setangkai mawar merah tergeletak, mengingatkanku pada setangkai mawar yang selalu kau berikan di tiap hari Valentine.Ku ambil  mawar itu, biarlah ku simpan bunga terakhir ini sebagai satu kenangan yang tersimpan. Selamat tinggal kasih, cinta yang sangat berarti ini biarlah tetap terjaga meski hanya dalam kenangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H