Mohon tunggu...
Bramantyo Dwi Hardianto
Bramantyo Dwi Hardianto Mohon Tunggu... Lainnya - S1 Ilmu Komunikasi

Saya senang menonton film/series dan pergi ke tempat tertentu

Selanjutnya

Tutup

Diary

Belajar Fakta Tentang Tuli di Taman Literasi

26 September 2024   08:48 Diperbarui: 26 September 2024   09:07 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Instagram Akun @KokBisa

Taman Martha Christina Tiahahu adalah tempat di Blok M yang sudah berdiri sejak tahun 1948. Namun sayang, lingkungan yang kumuh membuat masyarakat tidak menghiraukannya.

PT Integrasi Transit Jakarta yang menyadari hal ini akhirnya memutuskan untuk merevitalisasi taman ini dengan dana 30 milyar milik pribadi.

Mereka memperelok lingkungan taman, mengadakan kedai-kedai makanan minuman, perpustakaan kecil untuk membaca buku, area hijau, dan sebuah alun-alun untuk mengadakan diskusi, lokakarya, tari tradisional, konser, dan pertunjukan budaya seperti tari tradisional, barongsai, dan sebagainya.

Taman Martha Christina Tiahahu sering pula menyelenggarakan kampanye terkait perayaan di hari tertentu, yang paling terkenal dan paling ikonis, salah satunya "Pesta Literasi di Taman" (PELITA). PELITA merupakan bagian dari Perayaan Hari Literasi Sedunia yang rutin diagendakan setiap bulan September.

Hari Sabtu (21/9) kemarin, penulis menyempatkan diri menghadiri diskusi "Kok Bisa Talks" dengan narasumber Bagja Prawira (co-Founder "Silang.id"), Firdhani Zihan/Gema Membiru (Penulis Buku "Sebelas Malam", dan Samuel Pandiangan (Founder "Indonesia Book Party").

Sebetulnya, pertanyaan inti dari diskusi ini "Apa menurut kamu membaca buku cuma buat orang pintar?" termasuk umum meskipun cocok diperbincangkan di Indonesia yang secara historis lebih menyenangi tradisi lisan, akan tetapi saat diskusi yang dibawakan Dyah Ayu, Community Manager Kok Bisa berlangsung, yang membuat penulis tertarik adalah salah satu narasumber yang tunarungu. Pada opininya, ia (kak Bagja) mengatakan bahwa 80% tunarungu di Indonesia mengalami krisis literasi dan negara kita belum banyak memproduksi fasilitas untuk komunitas tuli seperti sound book (buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa isyarat).

Fakta lain yang juga penulis dapatkan tentang kekurangsukaan tunarungu menonton YouTube, sehingga lebih memilih berkumpul, berinteraksi secara melingkar secara langsung, membahas pelbagai hal, mulai dari budaya, politik, agama, hingga filsafat dengan BISINDO (Bahasa Isyarat Indonesia).

Terakhir, diskusi ditutup dengan memberikan referensi buku favorit dari masing-masing narasumber ("The Four Disciplines of Execution" dari kak Samuel Pandiangan; "Aroma Karsa" dari kak Firdhani Zihan/Gema Membiru; "Deaf Utopia" dari kak Bagja) dan kak Bagja berharap ke depannya komunitas tuli bisa diterima di segala sektor (karier dan fasilitas umum seperti Coffee Shop, menonton film Indonesia di bioskop disertai teks) secara independen, dan melakukan aktivitas normal yang lain tanpa dibatasi dan dibedakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun