Badan Intelijen Negara adalah institusi negara untuk mengukur risiko dari setiap kebijakan ataupun prilaku yang terjadi di dalam maupun di luar negara Indonesia. Risiko merupakan suatu kejadian yang diperkirakan bisa muncul dimana memiliki sifat negatif atau merusak bahkan membinasakan, singkatnya risiko adalah ancaman. Di dunia manajemen, BIN menjalankan fungsi manajemen risiko yaitu melakukan tugas deteksi sedini mungkin terhadap setiap ancaman dengan harapan agar ancaman itu tidak menjadi kenyataan.
Selama ini BIN diidentikkan dengan militer atau institusi penegak hukum, namun persepsi itu tidak berlaku dimana pada UU Intelijen Negara yang ada sekarang, BIN tidak memiliki kewenangan untuk menangkap orang karena melanggar aturan. BIN tidak memiliki wewenang untuk melakukan perlawanan senjata terhadap serangan musuh sebagaimana yang dilakukan militer untuk mempertahankan kekuasaan terhadap teritori negara. namun BIN hanya bermain dengan informasi, mulai dari mengumpulkan informasi, menjaga dan menyimpan informasi, menganalisa informasi, hingga menyebarkan informasi terutama melaporkan informasi kepada presiden dan lembaga-lembaga yang memiliki kerjasama dengan BIN, barangkali BIN juga memiliki "tugas khusus" untuk melakukan sabotase informasi untuk kepentingan negara.Â
BIN tidak sepenuhnya seperti apa yang dilakukan CIA di Amerika, KGB di Rusia, MI6 di Inggris. "Tangan" BIN sudah dipotong, yang tersisa hanya kepala dan kaki. Kepala untuk melihat dan mendengar serta juga menganalisa, sedangkan kaki untuk berjalan-jalan mencari informasi. Badan intelijen di suatu negara dipersepsikan banyak orang sebagai badan untuk melakukan deteksi dini terhadap sesuatu yang mengancam negara dan segera mengambil tindakan pencegahan sebelum ancaman itu terjadi. Untuk melakukan pencegahan biasanya dilakukan sabotase tertentu, penangkapan terhadap orang yang diduga kuat menjadi aktor dibalik ancaman itu  hingga pada penghilangan nyawa dengan cara-cara halus lewat skenario tertentu. Apakah BIN juga melakukan itu? Berdasarkan UU, BIN tidak melakukan seperti itu. BIN hanya sampai pada fase informasi saja, berperan sebagai "divisi sistem informasi negara".   Â
Peran manajemen risiko yang dijalankan BIN tidak terbatas pada ancaman terkait aspek serangan militer atau serangan kejahatan saja, namun juga aspek asimetris. Barangkali aspek asimetris itulah kontribusi utama BIN dibandingkan militer dan kepolisian. Aspek asimetris merupakan salah satu dimensi ancaman terhadap suatu negara dari jalur yang tidak terlihat secara kasat mata namun dapat dirasakan. Beberapa aspek asimetris itu seperti kemiskinan, kebodohan, lunturnya budaya indonesia, runtuhnya ekonomi negara, lunturnya nasionalisme masyarakat Indonesia, dsb. Jika ancaman dari aspek-aspek itu tidak mampu dideteksi oleh BIN sedari awal, maka nantinya akan merembet kepada ancaman yaitu tindakan kejahatan, terorisme oleh anak bangsa sendiri, Ketika ancaman itu telah terjadi maka itu bukan lagi tugas BIN, namun sudah beralih menjadi tugas TNI dan Polisi, serta perangkat-perangkat penegak hukum lainnya. Â Â
Sebagaimana artikel sebelumnya, KaBIN lebih tepat disebut sebagai CIO negara, sebagai kapala divisi sistem informasi negara. Di satu sisi, BIN melakukan pekerjaan bak sebagai wartawan yaitu mengejar dan mengumpulkan informasi dari berbagai sumber, dan di satu sisi BIN melakukan pekerjaan sebagai peneliti. Tugas mengumpulkan informasi dilakukan oleh agen, sedangkan tugas penelitian terhadap informasi itu dilakukan oleh analis. Sebagai CIO, KaBIN harus memastikan bahwa "sistem informasi" BIN berjalan optimal yaitu berjalan secara efektif dan efisien. Mendapatkan informasi yang valid alias akurat, serta kemudian memastikan hasil analisa dari informasi itu memiliki kehandalan yang tinggi, yang tentu saja keseluruhan proses itu dilakukan secepat mungkin.   Â
Walaupun peran BIN tidak terlihat langsung oleh masyrakat, namun ancaman-ancaman terhadap negara sudah bisa dirasakan seperti meningkatnya tingkat kemiskinan, tingkat kebodohan masyarakat terlihat dari indikasi rendahnya tingkat literasi masyrakat indonesia, tingkat kejahatan telihat dari banyak bermunculan radikalisme serta juga begal, lunturnya budaya indonesia, dst. Apakah selama ini BIN tidak begitu peduli dengan aspek asimetris tersebut? apakah BIN hanya sebagai intel untuk kepentingan politik presiden? Â atau perangkat BIN belum optimal? Â Â Â
Sebenarnya, fungsi manajemen risiko yang dijalankan oleh BIN semakin lengkap karena BIN diberi wewenang sebagai koordinator intelijen dari berbagai lembaga negara dan pemerintah. BIN memerlukan akses informasi dari seluruh lembaga negara dan pemerintah selain informasi dari para agen. Karena sistem kehidupan negara sangatlah kompleks, maka untuk mencapai kesimpulan suatu ancaman maka harus didahului oleh informasi berbagai faktor-faktor pendahulunya dari  berbagai dimensi.Â
Informasi itu disediakan oleh lembaga-lembaga negara dan pemerintah serta juga para agen BIN. misalkan untuk membuat kesimpulan akan terjadi ancaman terhadap ekonomi negara maka BIN memerlukan informasi dari Bank Indonesia, data ekonomi global, Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Dalam Negeri, OJK, BPS, informasi dari kalangan industri, informasi dari kalangan masyrakat, sampai juga informasi terkait investor yang masuk ke Indonesia yang bisa diperoleh dari BKPM. Informasi-informasi itu dikumpulkan secara terintegrasi dan dianalisa untuk mencapai satu kesimpulan apakah negara berpeluang besar terancam? Untuk mendapatkan dan menganalisa informasi-informasi terkait aspek asimetris tersebut peran polisi atau militer tidak begitu diperlukan. Begitupun dengan aspek asimetris lainnya dimana peran polisi atau militer di BIN semakin minimal. Â
Anggap saja perangkat BIN belum optimal, maka untuk mendukung kinerja BIN agar optimal, maka diperlukan pembenahan baik dari SDM, jaringan, maupun teknologi. Karena kontribusi utama BIN pada  aspek asimetris sangat diperlukan. Bermain pada ancaman yang bersumber dari analisa informasi, itu berarti harus ada sistem yang mampu mengumpulkan, mengukur, menganalisa data dan informasi secara lengkap, akurat serta handal, serta juga jaringan informasi yang sangat luas, itu semua adalah senjata utama BIN untuk deteksi dini dan kemdudian segera "menekan alarm tanda bahaya" pada Presiden. Oleh karena itu sebaiknya BIN mulai diperkuat oleh SDM berkarakter seperti data scientist, serta juga didukung oleh teknologi big data.  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H