Mohon tunggu...
Angra Bramagara
Angra Bramagara Mohon Tunggu... Administrasi - Orang Biasa

Orang biasa yang sedang belajar menulis, dan belajar menggali ide, ungkapkan pemikiran dalam tulisan | twitter: @angrab

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Haruskah Masyarakat Menyadap ketika Berurusan dengan Pejabat?

4 Agustus 2016   13:50 Diperbarui: 4 Agustus 2016   16:06 537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (gambar: http://binaryapi.ap.org/)

Koordinator Kontras Haris Azhar mengalami masalah. Dia dilaporkan tiga institusi penegak hukum: BNN, Polisi, dan TNI ke Bareskrim Polri. Dia dilaporkan atas tuduhan pencemaran nama baik tiga institusi tersebut. Pelaporan itu berawal dari penyebaran testimoni dari terpidana mati Freddy Budiman (FB) ke khalayak ramai melalui sarana media oleh Haris Azhar. Penyebaran itu dilakukan setelah FB telah dieksekusi mati di Nusa Kambangan.

Peran Haris Azhar hanya sebagai penerima "wasiat" yang menurutnya kata-kata dalam wasiat itu disampaikan sendiri oleh FB untuk kemudian disampaikan ke pihak tertentu yang berkepentingan untuk ditindaklanjuti. Menurut Haris Azhar, sebelum dilemparkan ke khalayak ramai, wasiat tersebut terlebih dahulu disampaikan kepada Presiden Joko Widodo melalui Johan Budi. 

Sebagai pemimpin penyelenggara pemerintahan alias "orang tua" dari para pejabat pemerintahan, sekaligus orang yang benar-benar concern dengan pemberantasan narkoba, bahkan narkoba dijadikan kejahatan luar biasa, Presiden berhak tahu masalah tersebut. Tidaklah salah rasanya Haris Azhar memberitahukan wasiat itu kepada Presiden Joko Widodo.      

Yang menjadi masalah adalah ketika Haris Azhar membocorkan wasiat tersebut ke khalayak ramai. "Orang tua" BNN, TNI, dan Polri adalah Presiden, bukan masyarakat, sedangkan "orang tua" Presiden barulah rakyat Indonesia. Jika dilihat dari konteks ini, tidaklah pantas wasiat itu disampaikan ke khalayak ramai. Kalaupun ingin melaporkan ada oknum yang berbuat jahat, sebaiknya dilaporkan langsung ke institusinya atau ke "orang tua" nya, begitulah aturan main dan etikanya. 

Dalam definsi sebuah sistem, owner institusi tersebut adalah Presiden, namun user dari institusi tersebut adalah masyarakat. Masyarakat diposisikan sebagai user karena kinerja tiga institusi tersebut dirasakan langsung oleh masyarakat sehingga masyarakat juga bagian dari stakeholder sebuah sistem. Masyarakat berhak ikut campur terhadap kinerja suatu sistem, masyarakat berhak melaporkan ketika sistem tidak berjalan normal. Namun, masyarakat tidak diberi hak menindak atau memperbaiki sistem karena yang berhak menindak atau memperbaiki sistem adalah owner dari sistem. 

Namun, seperti kebiasaan selama ini yang mungkin dirasakan oleh masyarakat terhadap berbagai institusi bahwa setiap laporan masyarakat apalagi yang dilaporkan terkait kinerja institusi itu sendiri, laporan tersebut tidak begitu berdampak alias percuma saja. Ada kotak saran, ada kotak pengaduan, namun masyarakat pesimis laporan itu ditindaklanjuti. Pelayanan terhadap masyrakat tidak berubah, bahkan tambah buruk. Oleh karena itu, kepada siapa lagi masyarakat harus mengadu terkait kinerja suatu institusi atau terkait oknum dari institusi tersebut? Namun, yang pasti kepada Tuhanlah mereka pada akhirnya akan mengadu, semoga dibukakan hati para pejabat negeri untuk menjadi orang baik dan tidak menyalahgunakan kewenangannya.  

Selain kepada Tuhan, ada media konvensional hingga media sosial yang juga mampu menyediakan sarana untuk menekan owner sistem agar mau menindaklanjuti bahkan berharap memperbaiki kinerja sistem yang dimilikinya. Melalui sarana tersebut, setiap orang dapat memberi tahu terkait kinerja institusi bahkan oknum institusi tersebut ke khalayak ramai secara bebas. Kalau sudah ditekan oleh banyak orang, biasanya akan berdampak pada seseorang yang "dilaporkan" tersebut apakah mulai dari rasa malu, marah, atau mungkin mau menerima kritikan itu dan akhirnya berubah menjadi lebih baik. Hal seperti inilah yang diharapkan masyrakat. Ada dampak dari setiap laporan yang mereka sampaikan sehingga tidaklah heran masyrakat banyak upload setiap temuannya terkait kinerja pemerintah ke media massa atau media sosial. 

Namun, ada hambatan di sini, yaitu pasal pencemaran nama baik yang masih berlaku hingga saat ini di UU ITE. Berdasarkan UU ITE, setiap orang diasumsikan orang baik, walaupun ada persepsi pihak tertentu yang mengatakan seseorang itu adalah orang jahat. Untuk mengategorikan orang itu jahat atau baik harus didasarkan undang-undang yang berlaku. Dan yang menentukan itu adalah kepolisian dan kejaksaan kemudian diputuskan final oleh hakim di pengadilan. 

Sehingga, mau tidak mau masyarakat harus melaporkan suatu kegiatan yang diduga melanggar undang-undang atau aturan ke penegak hukum seperti Kepolisian atau KPK, atau ke pemilik sistem alias presiden, tidak bisa di luar dari itu. Sehingga pasal ini menjadi penghalang bagi seseorang yang sudah tidak percaya pada institusi penegak hukum, apalagi yang diadukan itu adalah kinerja dari oknum ataupun institusi penegak hukum itu sendiri. Jadi, kenmana lagi mereka harus mengadu? Dilaporkan ke institusi atau ke pemilik sistem, mental, dilaporkan ke masyarakat melalui media massa atau sosial juga diancam hukuman.

Ketika masyarakat mengadukan suatu institusi atau oknum tertentu karena kinerjanya buruk atau ada yang jahat, sepertinya diwajibkan disertai alat bukti untuk menunjukkan bahwa yang diadukan itu benar-benar sesuai tuduhan. Tidak bisa kita menuduh seseorang jika tidak disertai barang bukti alias hanya berbasis pengalaman dan persepsi. Ketika kita diperlakukan kasar atau jahat atau tidak sepatutnya bahkan melanggar undang-undang oleh penegak hukum, kalau tidak disertai bukti, apalagi disebarkan pula ke khalayak ramai karena ada rasa ketidakpercayaan alias dirasa percuma dilaporkan ke institusi itu sendiri, orang yang melaporkan itu bisa diancam pencemaran nama baik. Kita tidak bisa mengatakan bahwa "seorang polisi memalak saya" tanpa disertai alat bukti.

Berkaca dari kasus Haris Azhar, alat bukti yang disampaikan itu adalah alat bukti berupa pengalaman atau berupa cerita. Alat bukti seperti itu dirasa masih lemah untuk menekan pemilik sistem agar menindaklanjutinya. Bisa saja itu benar, bisa saja itu salah. Nah, kalau benar bagaimana? Sistem pasti akan kacau terus dan masyarakat sebagai user akan terkena imbasnya, dan lama-kelamaan jika dibiarkan negara ini akan rusak dan hancur. Nah, kalau salah, yang menuduh bisa terkena ancaman pencemaran nama baik. Untuk membuktikan itu benar atau salah, perlu alat bukti atau dilakukan proses penelitian/penyelidikan terlebih dahulu. Alat bukti bisa berasal dari pemberi laporan atau dari hasil penyelidikan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun