Mohon tunggu...
Angra Bramagara
Angra Bramagara Mohon Tunggu... Administrasi - Orang Biasa

Orang biasa yang sedang belajar menulis, dan belajar menggali ide, ungkapkan pemikiran dalam tulisan | twitter: @angrab

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Hadapi Transportasi Online, Algoritma Harus Dihadapi Algoritma, Bukan Manusia

22 Maret 2016   19:12 Diperbarui: 23 Maret 2016   11:53 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="ilustrasi algoritma (betamanise.files.wordpress.com)"][/caption]Yang dilawan perusahaan besar semacam Blue Bird Group Express Group itu adalah pengusaha skala mikro dengan biaya operasional kecil tapi dapat sumber daya layaknya perusahaan besar. Disitulah keunggulan model bisnis aplikasi online yang berbasis crowd sourcing. Sedangkan taksi konvensional adalah perusahaan besar dangan biaya operasional yang besar.

kalaupun pun supir online itu membayar pajak, pajak yang diberlakukan pada mereka adalah pajak skala mikro, sedangkan pajak yang dikenakan pada perusahaan taksi konvensional adalah pajak untuk perusahaan besar. Dari segi pajak saja, taksi konvensional tak akan mampu bersaing. Kalaupun disetarakan dimana taksi konvensional juga turunkan tarif (perang tarif) atau dikasih akses untuk ambil penumpang ke sudut kota, sampai ke sudut-sudut kantor atau mall sekalipun, perusahaaan taksi konvensional bakalan tetap rugi, karena beban biaya operasional di perusahaan taksi konvensional di luar pajak, sangat besar. Kecuali taksi konvensional mau mengubah model bisnisnya, agar biaya-biaya semakin berkurang dan perusahaan menjadi ramping.    

Kalau pun pemerintah mau menegakkan aturan di bisnis online, apalagi yang sudah lintas negara, seperti menagih pajak dan perlindungan konsumen, maka pemerintah sudah tidak bisa pakai cara lama, seperti main jebak-jebakan. Capek, mau sampai kapan itu, gak akan habis itu. Satu dari mereka mati, mereka bakalan hidup lagi. Mereka seperti virus, kalau mau menghadapi mereka untuk menegakkan aturan, maka mereka harus dihadapi pakai virus juga, tak bisa pakai cara manusia. 

Artian virus di sini adalah pakai algoritma, bermainlah di big data, bermainlah di artificial intelligence, integrasikan semua sistem informasi yang ada, biarkan mesin yang mencari mereka. Ada 3 simpul utk mecegat mereka yaitu simpul operator, simpul perbankan, simpul logistik. 

Satu-satunya akses mereka untuk menjangkau masyarakat adalah menggunakan infrastruktur operator, satu-satunya akses mreka untuk membayar adalah sistem perbankan, satu-satunya akses mereka untuk mengantarkan barang adalah sistem logistik. pemerintah, bermainlah di simpul-simpul itu. Kalau masih menerapkan cara lama menegakkan aturan, tak akan bisa itu, tak akan habis itu, karena pada dasarnya manusia itu malas urus ini itu, bayar ini itu. Mau dipaksa pun, dipaksa kemana? karena pelaku orangnya tidak bisa diketahui karena tersimpan di data center penyedia aplikasi yang kantor dan data centernya tidak di Indonesia.

Kecuali kalau pemerintah takut, dengan berlakukan kebijakan pamungkas yaitu BLOKIR.

[caption caption="ilustrasi (sumber: dragonate.files.wordpress.com)"]

[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun