Isu-isu Petral sudah ada sejak beberapa tahun lalu, semasa Pak SBY masih menjabat sebagai presiden. Bahkan isu itu tidak hanya berasal dari masyarakat dari lingkungan di luar sistem pemerintahan,namun juga berasal dari salah seorang menterinya, yaitu Pak DI walaupun mungkin Pak DI tidak menyebut bahwa Petral adalah pusat operasional mafia migas atau markas korupsi para pejabat sebagaimana pandangan dari orang di luar pemerintahan. Namun Pak DI hanya menyebut Petral sebagai salah satu biang kerok ketidakefisienan penyaluran migas. Kala itu sempat ada isu Petral akan dibubarkan oleh Pak DI, Menteri BUMN, namun pada ujungnya dibatalkan. Pak DI hanya membenahi Petral. Ntah apa alasannya kenapa harus dibatalkan, kl memang toh adanya Petral itu merugikan migas Indonesia karena dianggap tidak efisien.
Berdasarkan hierarki, yang memegang tanggung jawab terhadap instansi BUMN adalah menteri BUMN, di mana apa-apa yang ada di BUMN harus diawasi dan dikendalikan olehnya. Permasalahan migas, terutama ketidakefisiensian migas merupakan permasalahan yang harus dibenahi, karena dampaknya adalah kepada harga minyak yang diterima oleh masyarakat, nantinya akan berujung pada kinerja kehidupan masyarakat.
Kinerja kehidupan masyarakat secara umum adalah tanggung jawab presiden sebagai kepala negara yang juga punya peranan terhadap pengendalian sistem negara. Karena hierarki di atas presiden adalah masyarakat dan rakyat Indonesia, di mana presiden harus mengawasi dan mengendalikan rakyat Indonesia agar dapat berkinerja secara baik dalam kehidupan mereka.
Andai kata Petral itu dikabarkan tidak efisien terhadap penyaluran migas yang ujungnya dapat merugikan kinerja kehidupan masyarakat, apalagi informasi ini bersumber dari seorang menteri BUMN kala itu (walaupun mungkin tidak langsung dilaporkan kepada presiden), selain juga informasi dari masyarakat. Kenapa Petral tidak dibubarkan saja waktu itu? Toh sebagai pemegang kendali tertinggi, presiden dapat memberikan "perintah" dalam bentuk dukungan penuh pembubaran petral saat itu kepada menteri BUMN yang sejatinya sudah bersedia membubarkan Petral. Namun kenapa menteri tersebut membatalkannya?
Apakah pada saat itu menteri BUMN tidak berani berinisiatif membubarkan Petral, padahal Petral merupakan wewenang dari menteri BUMN itu sendiri, tanpa perintah langsung dari  presiden sebagai atasannya? Jika di dalam aturan seorang menteri bisa saja langsung membubarkan tanpa ada perintah atau tanda tangan langsung oleh presiden, kenapa Pak DI tidak melakukannya? Apakah hasil analisa hitung-hitungan menteri BUMN saat itu keliru yang pada ujungnya membatalkan pembubaran Petral?
Atau pak menteri masih ada rasa sungkan atau takut membubarkan Petral tanpa dukungan moril secara penuh dari seorang presiden? Karena dalam suatu organisasi, perubahan sistem yang akan dilakukan oleh hierarki di level bawah, biasanya akan mangkrak atau tidak berhasil atau kinerjanya akan turun jika hierarki di atasnya tidak memberikan dukungan moril secara penuh. Walaupun tidak ada hubungan langsung atau aturan langsung harus secara aliran perintah, namun dukungan moril atasan akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan perubahan suatu sistem yang akan dilakukan hierarki di bawah.
Atau memang ada aturan bahwa setiap tindakan menteri harus ada perintah langsung atau tanda tangan langsung dari seorang presiden?
Bagaimana sistem kerja dan culture kerja di pemerintahan Pak SBY? Barangkali bisa membuka tabir yang ada.
salam,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H