Mohon tunggu...
I Made Bram Sarjana
I Made Bram Sarjana Mohon Tunggu... Administrasi - Analis Kebijakan

Peminat pengetahuan dan berbagi pengetahuan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kebijakan Solid Lahir dari Kepemimpinan Berintegritas

31 Juli 2024   16:01 Diperbarui: 1 Agustus 2024   15:00 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: Kompas.id

Agenda dan target pembangunan daerah telah tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Kepemimpinan yang kuat dalam politik anggaran untuk memastikan sumber daya keuangan yang ada diarahkan dengan benar, sehingga tidak terjadi penghamburan atau penyalahgunaan uang negara untuk agenda-agenda politik yang tidak ada relevansinya pencapaian target-target pembangunan daerah yang telah tercantum dalam RPJMD. Bukankah agenda politik sejatinya telah terdapat pada RPJMD sebagai pengejawantahan janji politik pejabat politik di daerah selama periode pemerintahannya?

Pengalokasian anggaran negara yang tidak berhubungan dengan upaya memecahkan permasalahan pembangunan patut diduga merupakan praktek penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dan perilaku koruptif. Modus praktek-praktek seperti ini amat sering diselubungi dengan  jargon-jargon politik pemerataan pembangunan untuk semua, yang sulit diukur relevansinya dengan pencapaian tugas-tugas utama pemerintahan dan pembangunan yang sepenuhnya telah terjabarkan dalam RPJMD.

Walau demikian, nalar politiknya amat mudah dibaca, yaitu mendulang suara pada setiap hajatan politik. Praktek-praktek tidak patut seperti itu pada akhirnya membuat pemilihan umum yang seharusnya menjadi bentuk pemuliaan atas demokrasi yang meletakkan kedaulatan di tangan rakyat, terdegradasi semata-mata menjadi asesoris demokrasi untuk melanggengkan kekuasaan. Dampaknya jelas, demokrasi mengalami stunting karena tidak tumbuh kembang dengan sehat.

Kebijakan pembangunan daerah yang solid, hanya dapat lahir dari  kepemimpinan yang kuat, digerakkan oleh energi positif dan idealisme untuk mensejahterakan masyarakat. Kesejahteraan tidaklah bermakna meninabobokan masyarakat. Ada kalanya didorong nafsu politik, kebijakan pembangunan menyusup dalam setiap relung kehidupan masyarakat melalui berbagai bentuk bantuan sosial yang tentunya tidak gratis, karena harus "dibayar" pada ajang pemilu. Perlu dibedakan mana yang menjadi tanggung jawab negara, mana yang menjadi tanggung jawab pribadi dan komunitas. Negara tidak akan bertumbuh, bahkan mengalami stunting, apabila atas nama kebahagiaan masyarakat, ingin mencampuri seluruh relung kehidupan masyarakat melalui hibah atau bantuan sosial.

Bantuan sosial yang tidak sepantasnya justru membuat masyarakat mengalami kelumpuhan, karena dikondisikan mengalami ketergantungan yang tinggi terhadap berbagai macam bentuk bantuan sosial.

Tentunya ini tidak bermaksud mengesampingkan fakta bahwa memang terdapat kelompok masyarakat yang rentan, lemah atau bahkan berada dalam kondisi kemiskinan. Terhadap kelompok masyarakat yang tergolong lemah, pemerintah justru harus hadir, tampil all out untuk memastikan bahwa mereka juga bisa hidup layak sebagai insan manusia yang bermartabat, dan pada saatnya mampu berdikari.

Ketika kebijakan pembangunan secara terukur dan objektif telah berdampak pada pemecahan masalah publik, maka itu adalah hasil dari  kepemimpinan yang berkualitas dan berintegritas. Pemimpin tidak boleh memposisikan rakyat/masyarakat sebagai objek tidak berdaya yang menghamba kepada pemerintah untuk memperoleh berbagai hibah dan bantuan sosial. Tugas kepemimpinan dalam pemerintahan baik di pusat dan daerah, baik cabang eksekutif dan legislatif adalah membangun kapasitas, sehingga terwujud tatanan masyarakat yang produktif, tidak manja dan pasif, mampu menjadi mitra kerja pemerintah dalam pelaksanaan agenda-agenda pembangunan.

Bukahkah dalam demokrasi, kedaulatan berada di tangan rakyat? Artinya para pejabat politik bisa duduk di pemerintahan atas titah rakyat melalui suara yang mereka salurkan?

Dengan demikian justru para pejabat politik yang duduk dalam pemerintahan itulah yang merupakan para "petugas amanat rakyat", menjalankan tugas dan fungsinya dari rakyat para pembayar pajak.

Oleh sebab itu tentu layak dipertanyakan, apabila rakyat selaku pembayar pajak, pemberi titah/amanat justru diposisikan sebagai hamba, bukan mitra kerja setara.

Dalam budaya politik yang telah terbangun dengan pola patron-client, ini jelas tidak mudah. Tanpa kepemimpinan berintegritas maka demokrasi akan mengalami stunting. Kebijakan pembangunan yang solid hanya bisa lahir dari kepemimpinan yang berintegritas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun