Ketika saya pertama kali mulai mempelajari machine learning, saya teringat menonton sebuah film dokumenter tentang AlphaGo. Pada tahun 2016, dunia terkejut ketika Lee Sedol, seorang pemain Go terbaik dunia, dikalahkan oleh AlphaGo, sebuah sistem AI yang menggunakan machine learning (ML)---khususnya kombinasi deep learning dan reinforcement learning, yang keduanya merupakan bagian dari AI buatan Google DeepMind, yang berkantor di London.
Salah satu aspek penting dari machine learning adalah ketergantungannya pada data. Machine learning memungkinkan sistem untuk belajar dari data dan meningkatkan performa seiring waktu. Tanpa data, sistem ini pada dasarnya tidak berdaya, tidak mampu melakukan hal yang berarti.
Yang paling membuat saya kagum dalam dokumenter tersebut adalah bagaimana manusia bisa membangun sesuatu yang begitu canggih seperti AlphaGo. Awalnya, AlphaGo berperilaku seperti bot komputer biasa yang bisa Anda lihat di game. Namun, setelah mengumpulkan banyak data dan belajar dari ribuan pertandingan, AlphaGo berkembang. AI tersebut tidak hanya bermain Go---ia menguasainya, melampaui bahkan pemain manusia terbaik. Rasanya menakutkan melihat bagaimana mesin ini menjadi sangat "hebat," yang membuat saya berpikir: Apakah suatu hari nanti manusia akan bersaing dengan AI?
Namun, saya juga percaya pada ketangguhan kecerdikan manusia. Bagaimanapun, Lee Sedol berhasil mengalahkan AlphaGo sekali selama seri tersebut. Ini adalah pengingat bahwa meskipun AI kuat, manusia itu adaptif dan penuh sumber daya.
Delapan tahun kemudian, saat ini, kita sudah memiliki sistem AI yang bisa menulis kode sendiri. Ini menimbulkan pertanyaan mendalam: Apakah kita membangun AI untuk membantu kemajuan umat manusia, atau tanpa sadar menciptakan sesuatu yang bisa menjadi lawan kita?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H