Mohon tunggu...
Ani Berta
Ani Berta Mohon Tunggu... Konsultan - Blogger

Blogger, Communication Practitioner, Content Writer, Accounting, Jazz and coffee lover, And also a mother who crazy in love to read and write.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tarate, Perempuan Pengembara dari Karang Kembang

18 Mei 2012   03:43 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:09 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Srek...srek...srek....daun-daun kering yang berjatuhan dan menutupi jalan setapak di tengah Rimba Margasari tergusur-gusur telapak kaki Tarate yang berjalan cepat menembus kerumunan pohon-pohon lebat. Kaki jenjangnya begitu kokoh namun indah dibalut celana kampret selutut yang agak ketat dilapisi kain sinjang yang dilampirkan dipinggang langsingnya dengan atasan kemben sampai menutupi seluruh dadanya yang ranum. Rambutnya yang panjang disanggulkan alakadarnya menambah pesona wajah Tarate yang ayu. Tak lupa disamping kanan pinggangnya terselip sebilah pedang warisan satu-satunya dari sang mahaguru Nyai Samoja yang telah mangkat.

Sesampainya perjalanan Tarate di sungai ujung Rimba Margasari, ia meletakkan pedangnya di bebatuan sungai yang airnya deras mengalir lalu menarik nafas sebentar sambil duduk bersila kemudian berdiri tegak, mengayunkan kaki kanan kesamping kiri dan kedua tangan merentang, kaki kirinya bergantian mengayun ke kanan, lalu kedua tangannya dirapatkan dan kedua tangan ditaruh di tengah dadanya sambil mengambil nafas kembali. Pedang dibebatuan diraihnya dan disampirkan kembali di sisi kanan pinggangnya. Tarate rupanya mengasah jurus leungit raga jurus untuk menghilang dari penglihatan musuh.

Tarate kembali melanjutkan perjalanan, sesampainya di Desa Margasari yang pagi itu terlihat ramai, Tarate mengamati kerumunan masyarakat didepan teras sebuah pendopo yang nampaknya adalah sebuah tempat rapat masyarakat dan staffkerajaan Margasari. Tarate tetap diam dan mengamati dari jauh.

Seketika kerumunan bubar, seorang pria tinggi berpakaian lengkap a la kerajaan Sunda menyeruak dari bubaran kerumunan dikawal dua orang punggawa berlalu dengan kereta kereta kencananya.

Dua orang ibu-ibu mengenakan kain sinjang dan kebaya kumal berjalan melalui Tarate sambil menggerutu kesal.

“Sejak Sri Garada menjabat Mahapatih di Margasari ini, tak ada perubahan sedikitpun buat kita rakyatnya, kemiskinan dan kebodohan tetap merajalela.” Kata ibu yang membawa bakul sayuran. Si ibu satunya lagi menimpali “Iya, malah dia dan keluarganya sendiri yang makmur, bahkan upeti dari kerajaan tetangga dia makan sendiri tanpa menyetor ke pihak kerajaan.”

Tarate hanya terpekur saja sambil memerhatikan keadaan lalu-lalang dari bubaran kerumunan itu, ada yang masih ngobrol didekat pendopo ada juga yang berlalu.

Tak jauh dari pendopo, ada kedai Pawon Manterakata milik Mbak Yu Tri dan suaminya, Tarate singgah sambil memesan segelas air nira.

“Dari mana Nyi? Kelihatannya baru ya disini?” Sapa ramah Mbak Yu Tri seraya menyodorkan nira pesanan Tarate.

“Saya dari Desa Karang Kembang Yu, sepertinya ada hal penting tadi di pendopo ya, ada kejadian apa Yu?” Jawaban tarate sekaligus pertanyaan.

“Oh itu, ada rapat Sri Garada mahapatih di Margasari. Dalam rapatnya tadi tidak transparan atas segala yang diraihnya sedangkan dia melakukan kegiatan dan kerjasama dengan pihak kerajaan lain selalu mengatasnamakan kerajaan. Hasil kerja keras rakyatnya diakui dia sendiri tanpa melibatkan rakyatnya dalam mencicipi keberhasilan yang diraihnya.” Mba Yu Tri menjelaskan dengan berapi-api sambil membersihkan bangku dan meja kayu yang telah ditinggalkan pengunjung terdahulu.

“Apakah Maharaja sudah mengetahui hal ini Yu?” Tanya Tarate sambil mencomot sebuah pisang dipiring dihadapannya.

“Maharaja Margakencana sudah tahu tapi beliau tak bisa berbuat apa-apa karena Sri Garada pandai mengambil hati sebagian rakyat yang disenanginya juga pencitraannya sangat kuat diluar kerajaan jadi kebanyakan percaya saja pada apa yang dikatakan Sri Garada.” Yu Tri kali ini merasa tertekan dalam perkataannya.

“Mudah-mudahan Sri Garada cepat menyadari apa yang dilakukannya sebelum rakyat marah ya Yu, saya mau melanjutkan perjalanan.” Pamit Tarate sambil menaruh beberapa logam di meja.

“Ya, hati-hati nyi.” Jawab Mbak Yu Tri tak lepas memandang punggung Tarate yang berlalu, dalam benaknya ada ya perempuan secantik itu mengembara seorang diri?

Ditengah perkebunan kentang yang dilewati Tarate begitu sepi, yang terdengar hanya gemerisik daun kentang yang diterpa angin dan suara burung yang hinggap di ranting pohon randu, tiba-tiba Tarate dihadang empat orang kawanan perampok dengan penampilan kumal dan kasar, ketiganya memakai pakaian serba hitam dan mukanya ditutup kain hitam juga, yang terlihat hanya matanya saja. Tarate sempat panik namun langsung siaga menghadapi keempat laki-laki kasar yang mengepungnya.

“Sudahlah manis, jangan melawan kami hanya ingin bersenang-senang denganmu.” Kata satu orang yang membawa belati di pinggangnya.

Ketiga laki-laki yang lainnya langsung memegang kedua lengan Tarate.

Tarate sekuat tenaga melepaskan cengkeraman kuat ketiga laki-laki itu sambil melompat dan terus siaga ditengah kepungan, laki-laki yang memegang pisau belati terperanjat. Tak menyangka akan tindakan Tarate. “ Ayo cepat tangkap! Memalukan kalian kalah sama perempuan ini.” Teriaknya.

Ketika tiga laki-laki itu mau menangkap, Tarate tak lari namun terus menghadapinya, menendang yang satu, memelintir tangan yang satunya lagi dan memukul kedua laki-laki beringas lainnya dengan jurus tarung, tendangan, pukulan dan hantaman Tarate mampu membuat keempat laki-laki itu ambruk. Tarate membetulkan kain sinjangnya yang sempat terbuka dan melanjutkan kembali perjalanannya.

Sebulan setelah kedatangan Tarate ke Margasari, tetap terdengar kabar bahwa Mahapatih Sri Garada tetap egois dan rakyat semakin dimanfaatkan tanpa mencicipi keberhasilan yang diraihnya bahkan kerajaan pun semakin menurun pamornya karena banyak disusupi kepentinga pribadi Sri Garada didalamnya.

Tarate yang walaupun orang biasa saja, bukan keturunan darah biru namun hatinya sangat mulia dan suka mementingkan kepentingan orang banyak, tak peduli dirinya teraniaya asal semua orang selamat dan merasa senang. Tarate adalah perempuan pengembara yang suka menolong dari desa ke desa, kerajaan ke kerajaan dan melalui sikap diplomasinya apapun bisa diselesaikannya walau melalui jalan yang banyak hambatan mengingat dia hanya orang biasa dari rakyat biasa saja namun mempunyai ilmu silat dari Mahaguru Samoja dan ilmu kecerdasan dalam berpikir. Tarate adalah seorang perempuan sebatangkara tapi hatinya tak pernah sepi karena selalu menebar kebaikan.

Tak tahan dan gemas akan kelakuan Sri Garada yang akan melakukan kudeta pada Maharaja Margakencana untuk ambil alih kekuasaan Margasari seutuhnya, Tarate memberanikan diri menyusup ke istana, menyelinap melalui pawon istana yang sedang sibuk memasak untuk keluarga kerajaan hari itu. Lalu ia dipergoki Dhanapati seorang pangeran yang sedang lewat di gang istana yang kosong oleh pengawal. Tarate sempat terkejut dan langsung menguasai kegugupan dengan melakukan sembah dilutut pangeran.

“Siapa kamu? Ada apa menyelinap tanpa ijin pengawal?” Tanya Dhanapati tegas.

“Ampun Pangeran, maafkan kelancangan hamba. Hanya ingin menyampaikan sesuatu.”

Tapi Pangeran Dhanapati langsung memanggil pengawal dan Tarate dijebloskan ke tahanan di ruangan bawah istana.

Dhanapati masih penasaran siapa perempuan yang berani menyusup ke istana dan apa tujuannya, ia lalu mendatangi Tarate di tahanan.

“Hamba tahu apa yang akan pangeran tanyakan, hamba hanya ingin menyampaikan sesuatu bahwa untuk menguatkan pemerintahan yang bisa dipercaya oleh rakyatnya adalah dasar kepemimpina yang tulus ikhlas, ketegasan dan memberi mandat kepada orang yang tepat menjalankannya.” Tarate langsung mengungkapkan maksudnya tanpa basa-basi atau ketakutan.

“Namamu siapa? Lalu apa mau kamu sampai susah payah menyampaikan hal ini dengan menanggung resiko besar?” Tanya Dhanapati penasaran.

“Duli, pangeran. Nama hamba Tarate. Hamba tak punya maksud apapun hanya ingin menyampaikan sesuatu yang patut disampaikan saja.” Jawab Tarate singkat.

Lalu Dhanapati mengeluarkan Tarate dari tahanan dan mengajaknya berbincang di halaman belakang istana.

Namun tak berapa lama, Sri Garada muncul dengan congkaknya, “Pangeran, rupanya ini ya perempuan penyusup yang berani menanggung resiko, kita beri hukuman secepatnya, pengawal ayo bawa dia ke tempat hukuman!” Terika Sri Garada sambil menunjuk Tarate.

“Tidak usah Paman Garada, biar saya tahu dulu siapa dia.” Cegah Dhanapati.

“Alahhhh.......paling dia ini mau memata-matai kerajaan kita, ayo tunggu apalagi, hukum saja!” Bentak Sri Garada.

Beberapa pengawal memegang tangan Tarate dan memaksa untuk jalan, Dhanapati berusaha melerai tapi tak diindahkan karena para pengawal lebih mendengarkan Sri Garada.

Akhirnya Tarate mengeluarkan jurus tarungnya, dia merentangkan tangannya yang dicengkeram dan menepis dengan gerakan tegas lalu menerjang dua pengawal yang akan mengikatnya, Tarate berlari keluar istana dan menghilang.

Dhanapati sempat marah dan berusaha menyusul Tarate namun tak ditemukan jejaknya.

Tarate menuju Pawon Mbak Yu Tri dan meminta tolong Mbak Yu Tri untuk mengumpulkan rakyat didekat perkebunan kentang untuk sedikit memberi pengetahuan agar tak dibodohi orang yang merasa menjadi pimpinan kerajaan namun bukan orang yang memihak rakyatnya.

Dengan alasan kuat dari Mbak Yu Tri tentang informasi penting ini, akhirnya banyak rakyat yang datang ke perkebunan kentang Margasari, disana Tarate memberi bekal ilmu kepercayaan diri serta menegaskan apa kedaulatan rakyat itu, bahwa rakyat berhak menentukan siapa yang layak memerintah dan menjadi pemimpinnya, dengan stratregi kekompakan dan tuntutan tanggungjawab pemerintahan Sri Garada dari Tarate kepada rakyat Margasari. Akhirnya kepercayaan diri dan nyali rakyat bangkit. Walau rakyat Margasari masih bertanya-tanya siapa Tarate namun setiap perkataan Tarate mampu mengayomi dan membuat semangat rakyatnya dalam menuntut haknya bangkit.

Dua bulan setelah rakyat mendapat asupan ilmu dari Tarate, baik dalam ilmu pengetahuan dan sebagian rakyat ada yang berguru jurus Tarung darinya, pada saatnya pihak kerajaan melakukan sayembara pemilihan Mahapatih di Margasari, rakyat menuntut Sri Garada turun tahta dan pemerintahan diambil alih sepenuhnya oleh Maharaja Margakencana.

Terbukti Sri Garada melakukan kecurangan dan memenuhi kepentingan pribadinya semata, maka ia dijebloskan ke tahanan tanpa ampun, kekompakan dan kecerdasan rakyatnya berhasil membangun sebuah kerajaan yang semestinya. Dhanapati sempat heran dan apa penyebab rakyat bisa kompak, berani dan punya ide cerdas secara tiba-tiba? Akhirnya Dhanapati mendapat bocoran dari salahsatu punggawa setianya, bahwa semua ini berkat sumbangsih ilmu dan didikan Tarate si perempuan yang sempat menyusup ke istana.

Maharaja Margakencana dan Pangeran Dhanapati ingin sekali mengangkat Tarate menjadi Mahapatih Margasari dan menjadikan penasihat kerajaan tetapi tak ditemukan dan Tarate tak pernah Muncul lagi di Kerajaan Margasari. Timbul penyesalan yang dalam pada diri Dhanapati atas tak ditemukannya Tarate walau seluruh punggawa istana dan rakyat Margasari berusaha mencarinya.

Begitulah sifat Tarate, jika sudah membuat keberhasilan serta kemajuan suatu tempat atau kerajaan, dirinya tak mau di elu-elukan atau diangkat menjadi pemimpin dan sejenisnya, dia memilih untuk menghilang dan memberi kesempatan pada rakyat yang pantas mendapatkannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun