Ditengah geliat isu politik yang kian hangat jelang perhelatan konstitusional tahun 2019 mendatang, negeri ini turut mengalami goncangan global, yakni fakta melemahnya nilai tukar rupiah (Rp) terhadap dollar USA (USD). Ini bukan keadaan biasa yang mesti ditanggapi secara biasa saja, bukan pula keadaan genting yang mesti direspon seperti negara sedang dalam keadaan darurat. Namun perlu diketahui sebab dan implikasi keadaaan tersebut, praktis akan membentuk policy yang akan diambil.
Tentu depresiasinya rupiah dipersepsikan beragam, bergantung latar belakang dan interest yang melatarinya, namun pengaruh global yang membuat melemahnya rupiah terjadi didepan mata, sulit untuk disangkal bahkan dihindari. Gejala ini tidak semata membuat rupiah melemah, namun juga beberapa mata uang emerging countries ikut mengalami hal yang sama.
Depresiasi rupiah mesti diukur secara cermat, dilihat variabel pengaruhnya dan dicari solusi pemulihannya. Gejala ini memang datang dari faktor eksternal, yakni policy normalisasi moneter USD serta naiknya suku bunga the Fed, ditambah makin memanas perdagangan antara USA dan china, praktis mempengaruhi konstruksi perdagangan internasional, khususnya emerging countries.
Rupiah yang meroket hampir pada angka Rp 15.000 / 1 USD, bukan gejala alam yang turun hanya di indonesia. Venezuela pada awalnya juga merasakan hal sama, bahkan nilai tukar bolivar (mata uang venezuela) anjlok sampai 2.488.220,05 %. Hal ini diawali dari policy pemerintah menasionalisasi aset serta concern terhadap pemenuhan kebutuhan rakyat melalui pemberian subsidi, keadaan ini berimplikasi terhadap defisitnya fiskal yang mencapai 20 % dari produk domestik bruto (PDB).
Kurang lebih 98 % pendapatan negara venezuela diperoleh dari hasil ekspor minyak, diketahui venezuela sebagai salah satu negara dengan cadangan minyak terbesar di dunia. Disaat harga minyak menurun, pemerintah venezuela praktis berutang untuk memenuhi kebutuhan fiskal dalam negeri, pada akhir tahun 2018, utang luar negeri pemerintah venezuela melonjak drastis mencapai 161,99 %, pemerintah venezuela dinyatakan gagal memenuhi kewajibannya dan berakibat pada default.
Hal ini terjadi, disamping gejolak eksternal, pemerintah venezuela tidak melakukan diversivikasi ekonomi, hanya bergantung pada minyak. Akhirnya bolivar merosot akibat pemerintah venezuela tidak mampu membayar obligasi, sampai para investor keluar disertai terjadinya capital outflow.
Hal yang sama juga dialami oleh turki, awal tahun 2018 bukan awal tahun yang baik bagi pemerintah turki, karena nilai tukar lira turki melemah sampai 43 % terhadap USD. Hal ini selain gejolak eksternal, korporasi di turki juga gencar melakukan pinjaman, hingga total utang mencapai 52,9 % dari PDB pada kuartal I tahun 2018. Memang sejak 2015, neraca perdagangan di turki mengalami defisit, ditambah lagi dengan cadangan devisa yang tidak mendukung, sehingga mata uang lira rentan terdepresiasi. Keadaan ini memicu dilepaskannya aset-aset bernilai lira oleh investor, sehingga mata uang pun anjlok.
Keadaaan ini turut dirasakan oleh pemerintah argentina, peso (mata uang) argentina sejak awal tahun 2018 telah melemah 51,9 % terhadap USD. Kebijakan proteksi pemerintah argentina adalah dengan menguras cadangan devisa serta menaikkan suku bunga acuan sampai 60 %. Kenaikan suku buka memicu naiknya inflasi, praktis kurs semakin terdepresiasi, keadaan ini membuat argentina makin terpuruk, jika tetap bertahan dengan keadaan yang ada, maka negara bisa bermuara pada default, sehingga alternatif langkah yang diambil oleh pemerintah argentina adalah dengan menengadahkan tangan pada international monetery fund (IMF), seperti indonesia tahun 1998.
Bagaimana dengan indonesia? Apakah negeri ini akan mengalami hal yang sama seperti venezuela, turki, dan argentina, atau gejolak krisis moneter tahun 1998 silam akan terjadi kembali. Tentu untuk menjawab pertanyaan ini butuh jawaban yang terukur, butuh analisa yang tepat, tidak serta merta disamakan kondisinya, bahkan disimpulkan akan mengalami hal serupa tanpa mengetahui sebab dan implikasi ekonominya.
Depresiasi rupiah yang hampir mencapai angka Rp 15.000 / 1 USD didasarkan pada faktor eksternal yang lebih kuat, bukan berarti mengabaikan fundamental ekonomi dalam negeri. Asumsi sederhananya adalah, jika depresiasi rupiah akibat faktor intern, pasti disertai dengan kenaikan inflasi, turunnya pertumbuhan ekonomi, melemahnya daya beli, sampai pada naiknya suku bunga acuan pada batas maksimum, namun keadaan - keadaan ini tidak terjadi, bahkan disaat rupiah terdepresiasi, pertumbuhan ekonomi pada kuartal II tahun 2018 mencapai 5,27 % (yoy), serta inflasi relatif terkendali di angka 3,2 % (yoy).
Nilai tukar rupiah memang meroket jauh sejak terjadinya krisis 1998, namun secara ekonomi tidak hanya melihat nominal angka Rp 15.000 / 1 USD, tapi mesti mengukur indeksnya, yakni rupiah hanya melemah 11 % terhadap USD, jika dibanding depresiasi bolivar venezuela yang mencapai 2 juta %, Lira turki terdepresiasi 43 %, dan peso argentina terdepresiasi 51,9 %, bukan berarti keadaan ini biasa - biasa saja, tapi paling tidak kondisi ini masih lebih baik dari venezuela, turki, argentina, bahkan indonesia di tahun 1998.
Keadaan ini menuntut otoritas lembaga moneter (Bank Indonesia / BI) melakukan intervensi, baik di pasar obligasi maupun di pasar valuta asing. Menaikan tingkat suku bunga dengan tetap menjaga inflasi, pemerintah indonesia terus berupaya memulihkan keadaan ini, yakni dengan membuat kebijakan mengembalikan seluruh hasil ekspor dalam bentuk devisa ke indonesia, pembatasan impor dengan tetap menjaga daya beli, meningkatkan ekspor melalui kebijakan fiskal jangka pendek.
Terdepresiasinya suatu mata uang adalah lumrah dalam perdagangan global, apalagi cadangan devisa negeri ini masih menggunakan USD, nilai tukar mata uang pada keadaan seperti ini pasti akan melemah, tinggal bagaimana regulator mengendalikan dan mengontrolnya melalui policy moneter bahkan fiskal. Neraca perdagangan indonesia juga mengalamai defisit, sehingga turut menguras cadangan devisa. Selain karena gejolak eksternal dari normalisasi moneter USD, pemerintah indonesia baiknya menguatkan neraca perdagangan, sehingga dapat memperbaiki transaksi berjalan, selain terus menguatkan fundamental ekonomi domestik, serta pemberlakukan policy makro prudential atas utang luar negeri.
Wawan Oat, Peneliti CentrEast.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H