Untuk sampai pada muara demokrasi yang qualified, penyelenggara pemilu terus berbenah, melakukan mitigasi masalah yang 'mungkin' terjadi, mengurangi tingkat kerawanan pemilu dengan perbaikan sistem penyelenggaraan pemilu, baik secara internal maupun membangun kerjasama dengan lembaga-lembaga terkait secara eksternal. Karena kerawanan pemilu yang diketahui melalui indeks kerawanan pemilu (IKP) terlihat dengan ukuran penyelenggaraan, kontestasi, dan partisipasi.
Perbaikan kualitas demokrasi melalui penyelenggaraan pemilu mesti linier dengan tingkat pendidikan dan kesadaran politik publik. Semakin baik tingkat pendidikan masyarakat, mestinya semakin baik pula prosesi pemilu yang dilaksanakan. Tingkat pendidikan akan membentuk preferensi pemilih dalam menentukan pilihan dan mengambil sikap politik, serta terlibat secara aktif, baik dengan membantu pelaksanaan teknis pemilu, maupun dengan mengawasi proses pemilu yang tengah berjalan.
Dinamika politik kian dinamis, berbagai cara dan upaya kian dilakukan untuk meraih kuasa dan legitimasi rakyat, seperti penyebaran informasi sesat dan palsu (hoax) serta adanya black campaign yang marak terjadi, hal ini tidaklah mudah menjadi tanggung jawab penyelenggara pemilu an sich, dalam hal ini BAWASLU, apalagi ruang di media sosial semakin massif dan kian tak terkendali.Â
Hal ini membutuhkan kesadaran publik serta peran partai politik, dengan melakukan edukasi politik secara beradab dan bermoral, serta terus memproduksi narasi - narasi kebangsaan beralas program kesejahteraan, bukan tontonan dagang interest.
Peran partai politik dinilai cukup penting ditengah perbaikan kualitas pemilu, karena partai politik melalui rekrutmen kader serta program - program kerjanya, diharapkan dapat membentuk kesadaran publik secara substansif. Karena intelektual saja tidaklah cukup menjadi alas dalam memberikan hak politik, tanpa disertai kesadaran emosional untuk menghindari praktek - praktek negatif.Â
Politik uang maupun politik identitas tidak akan berkembang secara massif jika publik tidak disuguhkan dengan ketersediaan pilihan taktis, namun mesti dikuatkan dengan pendidikan politik yang bersifat strategis, serta syarat nilai - nilai moralitas.
Disadari bahwa penyelenggara pemilu hanya sebatas pelaksana pemilu, baik sebagai pelaksana teknis penyelenggaraan maupun sebagai pengawas pemilu, tetapi tidak berkuasa penuh dalam menghadirkan 'menu' yang bergizi (calon legislator). Ini merupakan tantangan bagi partai politik untuk menyediakan para calon legislator yang qualified, yang bermoral, berintegritas, serta bertanggung jawab dengan amanah terhadap janji dan visinya. Apa daya jika sistem kepemiluan telah baik namun tidak didukung calon legislator yang baik.
Kendati demikian, penyelenggara pemilu tentu bertanggung jawab menjaga 'gizi' demokrasi dengan melakukan pembatasan bahkan pelarangan mencalonkan diri sebagai calon legislator di semua tingkatan bagi narapidana mantan korupsi. Ini adalah bentuk ketegasan dalam menjawab keinginan publik, fakta integritas yang telah disepakati bersama antara penyelenggara pemilu dan partai politik tidaklah cukup, sehingga KPU merasa perlu memperjelas kembali melalui penerbitan peraturan KPU No. 20 tahun 2018.
Peningkatan tingkat partisipasi pemilih mestinya tidak sebatas angka, namun juga menggambarkan kualitas proses pemilihan. Tinggi rendahnya angka partisipasi pemilih, bukan semata perkara administratif dalam daftar pemilih, namun menjelaskan semangat memilih beralaskan rasionalitas. Jika angka partisipasi pemilih sejalan dengan maraknya politik uang dan praktik - praktik politik busuk, maka itu mencerminkan transaksi politik antara pembeli dan penjual kekuasaan.Â
Tidak ada ukuran keberhasilan pemilu dengan tingginya angka partisipasi pemilih, sepanjang politik uang masih terus berlangsung, karena angka partisipasi pemilih yang qualified tentu berbanding terbalik dengan praktek - praktek politik uang, baik karena penawaran dari para kontestan politik
Wawan Oat
Peneliti CentrEast (Center For Economics and Social Studies)