Mohon tunggu...
Brahmanto Anindito
Brahmanto Anindito Mohon Tunggu... profesional -

Copywriter. Ghostwriter. Scriptwriter. Suka main futsal, bulutangkis dan catur, meski tidak jago. Penggemar berat karya-karya Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pemuja Oksigen

2 Agustus 2010   10:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:22 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Udara berpendar hitam malam ini. Biasanya, selarut ini jalan ini memang telah lelap dalam senyap. Pelan-pelan, Rimba Bonaventur menjalankan motornya. Mengatur jarum speedometer agar tak terangkat ke angka 30 km/jam. Dia hanya ingin menghayati angin sepoi yang menyejukkan, sesuatu yang jarang dirasakan penduduk kota ini. Lengang. Di sepanjang jalan hanya menggelinding satu kendaraan lain. Motor tersebut mencoba menyejajari kendaraan Rimba. Jaraknya kini bisa dihitung dengan jengkal, tepat di sebelah kanan Rimba. Entah apa maksud dua pria yang berboncengan itu. Sempat terlintas di benak Rimba, dua orang yang bersepeda motor tanpa helm itu kawannya yang ingin menyapa. Namun, terkaan tersebut langsung tersangkal oleh golok mengilat yang melintang di depan leher Rimba. “Turun!” seru sang pengemudi. Tapi Rimba bergeming. Kendaraan tak segera dihentikannya. Sampai beberapa detik kemudian, dia merasakan tubuhnya ditubruk dengan kasar dari belakang. Rimba tersungkur. Motornya turut ambruk dengan mesin menderu. Ponsel Rimba pun melompat keluar dari saku jinsnya. Benda tersebut jatuh bergulingan sejenak, lalu mencebur selokan. Hanya itu yang sempat diperhatikan Rimba. Sebab, guncangan hebat segera menerjang kepalanya. Helm yang disandangnya mencium tebing trotoar. Keras! Namun, kepala Rimba tak kalah keras. Dia segera berdiri. Setidaknya mencoba berdiri. Aneh, segala sesuatu tiba-tiba seolah berjalan dalam gerak lambat. Samar-samar Rimba melihat pantat dua kendaraan melalui sepasang matanya yang cokelat. Sebuah motor “laki-laki” dikemudikan pemuda bersuara sangar tadi. Kendaraan berplat L 7130 UH itu sepertinya masih baru. Dan yang satunya, motor butut dengan kondisi menyedihkan. Nomor polisinya L 5221 CR. “HEI …!” pekik Rimba. Dia baru sadar, motor butut itu motornya. Tapi percuma. Komplotan itu sudah jauh. Rimba pun nanar menatap dua “kawannya” menggondol sepeda motornya. Selama ini, sudah kerap Rimba mendengar berita perampasan motor disertai kekerasan. Tak ada perasaan ngeri sedikit pun. Dia bahkan pernah membual di hadapan teman-temannya betapa dirinya sudah menyiapkan sejumlah jurus jika benar-benar dicegat orang di jalan. Namun manakala musibah betul-betul terjadi, Rimba malah bengong tanpa berbuat apa-apa. Seperti sekarang. Mahasiswa Fakultas Hukum itu berdiri mematung. Yang dia tak habis pikir, maling goblok mana yang mau merampas motor bobrok seperti itu? Rimba tak pernah tahu, perampasan motor bututnya itu hanyalah awal dari serentetan peristiwa yang mengubah hidupnya 180 derajat kelak. Angin pun berhembus menerpa lembut pori-pori kulit Rimba. Dingin. Sunyi. Sekali lagi, malam mempertontonkan teater keheningan.

Aduh! Cerita Rimba yang berliku dan panjang tentu tidak cukup bila ditulis dalam blog (untuk umum) ini. Kalau Anda penggemar genre drama-thriller dan tertarik dengan kisah fiksi berjudul Pemuja Oksigen ini, silakan ikuti kelanjutannya di sini. Anda juga bisa memainkan novelet interaktifnya, gratis.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun