Mohon tunggu...
Brahmanto Anindito
Brahmanto Anindito Mohon Tunggu... profesional -

Copywriter. Ghostwriter. Scriptwriter. Suka main futsal, bulutangkis dan catur, meski tidak jago. Penggemar berat karya-karya Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketika Generasi Antiribet Memandang Pulsa Murah

28 Desember 2009   02:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:44 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebut saja namanya Ninda. Doyan ngobrol. Punya kebiasaan meneleponi teman-temannya tanpa tujuan yang urgen. Minimal Rp 10.000 (CDMA sesama) habis tiap harinya. Itu belum urusan pekerjaan. Karena itulah Ninda memeras otak untuk menemukan solusi bertelepon murah. Jadilah setiap menelepon saya dia selalu menggunakan nomor berbeda, nomor yang sekali pakai langsung dibuang. Saya miris melihat kebiasaannya ini. Bukan lantaran bingung jika ponsel berdering malam-malam, “Nomor siapa nih?” Faktanya, saya hampir selalu bisa menduga kalau itu Ninda. Bukan pula miris karena melihatnya menjadi boros lantaran harus terus membeli kartu perdana. Faktanya, pengeluaran pulsanya justru menjadi lebih hemat, sebab yang dibelinya adalah nomor-nomor obralan. Yang bikin miris adalah melihat kawan saya itu membuang sumber daya paling berharga dari manusia: waktu dan tenaga. Apa dia tidak mempertimbangkan repotnya setiap pekan harus kulakan kartu obralan? Bagaimana dengan hal-hal remeh seperti parkirnya atau bensinnya? Belum lagi pas apes, ada kartu perdana yang ternyata sudah kadaluarsa, sehingga dia masih harus SMS untuk meminta penambahan masa aktif (artinya pulsa lagi kan). Jangan lupa juga ribetnya bongkar-pasang SIM atau UIM-nya di ponsel? “Eh sori ya,” bantah Ninda, “HP-ku kan lima, ngapain pakai bongkar-pasang kartu?” Yah, saya tahu sendiri Ninda kemana-mana membawa kelima ponsel itu. Dia memang tak perlu bongkar-pasang kartu. Tapi, bukankah dengan begitu malah lebih ribet? Ninda pun menyahut, “Nggak tuh! Semua aku masukin tas. Lihat, kayak gini nih. Nah, HP utamanya aku kantongi. Beres kan? Apanya yang ribet?” Jika ada telepon masuk, Ninda bingung duluan, mana yang berdering. “Alaah, gitu aja dipikirin! Kalau udah biasa ya nggak bingung lagi.” Ya, ya, ya, Ninda yang saya kenal memang sudah terbiasa ribet. Bahasa positifnya: multitasking. Tapi ada sisi lain yang menggelitik benak saya. Ninda rela beribet-ribet seperti itu jelas karena telah memasuki permainan sales yang diciptakan entah oleh operator seluler atau distributornya. Permainan paling purba: harga miring. Saya sendiri enggan mengikuti permainan ini. Kartu perdana hanya Rp sekian kek, dapat 60 SMS per hari kek (buang-buang daya batere, waktu dan bikin jempol keriting saja), tarif bicara murah jam sekian sampai sekian kek, gratis 60 menit asal mendaftarkan lima teman dulu kek, bonus bicara karena sudah menghabiskan pulsa sekian kek, terserah! Saya mau telepon ya tinggal telepon, butuh SMS ya tinggal SMS. Bukan karena saya kebanyakan pulsa, melainkan karena saya adalah generasi antiribet. Di mata saya, telekomunikasi adalah alat untuk meningkatkan kualitas hidup, namun ia bukanlah hidup itu sendiri. Kecuali Anda seorang pengangguran, Anda pasti cenderung setuju: masih banyak masalah di luar itu yang lebih menuntut perhatian kita. Jadi, meskipun mendapat bonus talk time 5.000, kalau sedang sibuk dan tidak butuh menelepon seseorang, kenapa saya wajib memanfaatkan bonus itu? Kenapa juga saya harus mengamati promo operator seluler? Kalau ada program promosi, seharusnya dibuat simpel dong. Siapa yang sistemnya paling sederhana dialah juaranya. Perkembangan teknologi saja arahnya seragam kok, yaitu membuat segalanya semakin mudah. Remote membuat kita tidak perlu bangkit hanya untuk mematikan televisi. Reminder membuat kita tak perlu susah-susah mengingat agenda kegiatan. Kamera digital membuat kita memangkas tradisi cuci-cetak negative film yang kadang riskan itu. Guru SMA saya pernah mengatakan, “Orang-orang pintar membuat kehidupan kita menjadi sederhana. Sementara orang-orang bodoh membuat sesuatu yang simpel berkesan rumit. Albert Einstein yang merangkum reaksi kompleks alam semesta dalam rumus sederhana E = mc2 layak disebut orang pintar. Sedangkan calo SIM dan STNK sebaliknya.” Bila tarif murah seluler hanya sekadar permainan sales seperti saat ini, saya khawatir kita takkan melangkah kemana-mana. Boro-boro memikirkan pemanfaatan pulsa murah untuk perkembangan bidang tertentu, yang ada konsumen cuma sibuk mengeja aturan main yang diciptakan para operator seluler “pujaannya”. Padahal aturan main itu nanti berubah lagi dalam satu jentikan jari. Minggu lalu saya iseng bertanya ke teman-teman, mana sih operator yang paling murah? Saya kerucutkan pertanyaan pada “operator GSM” dan kegiatan “bertelepon”. Jawaban mereka ternyata beragam. Ini memberitahu kita bahwa tidak ada kesepakatan di benak masyarakat tentang siapa yang termurah. Yang ada hanya simpang siur klaim di jagad iklan above the line. Menurut saya, bila operator-operator seluler itu memang berniat memberi tarif murah, tak perlu menggencarkan iklan atau membuat permainan sales yang ribet dan dirimbuni syarat-syarat. Tetapkan saja pulsa yang benar-benar murah secara ikhlas, baik untuk bertelepon, ber-SMS/MMS, maupun berinternet. Tingkatkan pelayanan, itu yang utama. Namun yang tak kalah penting, jangan bocorkan nomor pelanggan ke pihak ketiga yang hobi mengirim SMS spam nggak penting itu. Lalu beriklanlah seperti biasa, dan biarkan efek dahsyat word of mouth bekerja. Setidaknya, itu pemikiran saya, seorang perwakilan dari generasi antiribet.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun