Kemarin saya mengajak seseorang memeriksa Twitternya untuk urusan penting. Dia menjawab enteng, “Bukannya nggak mau. Tapi aku nggak paham maksud Twitter tuh apa? Yang ada orang-orang ngoceh aja.” Saya ingin langsung menjawab, saat itu. Tapi rasanya tidak akan selesai dengan telepon atau SMS. Jadi saya memilih diam dan menjawabnya lewat artikel ini. Saya yakin, banyak juga Kompasianer yang merasakan bahwa Twitter hanyalah gudang ocehan tak karuan. Ocehan. Memang itu sih intinya. Makanya diberi nama Twitter, yang arti harfiahnya kicauan. Kita diharapkan berkicau (tweet) seperti burung. Di hari yang sama, teman kantor saya juga mengaku belum menemukan keistimewaan Twitter. Katanya, Twitter itu cuma untuk menulis status. Itu pun jatahnya 140 huruf, jauh lebih sedikit dari kolom status Facebook. Tidak bisa unggah gambar langsung, apalagi video. Pendeknya, Twitter itu kemampuannya lebih terbatas dari Facebook atau blog, tapi lebih rumit operasionalnya! Betul. Saya setuju. Itulah kenapa dulu saya ogah ikut berkicau, karena berpikir aplikasi yang “tidak canggih” ini takkan berumur panjang. Tapi kok tren Twitter tak kunjung redup kalau memang ia tidak istimewa. Insan pers pun kerap mengutip informasi dari Twitter narasumber mereka. Twitter unggul saya pikir lantaran ia berfokus pada tweets, informasi terpilih dan terbatas (jadi cepat bacanya, mudah nulisnya). Bukan gambar, video, atau game. Jadi ini seperti percakapan, hanya partisipannya dari seluruh dunia. Kalau percakapan itu menarik, ya menarik. Kalau percakapannya narsis-narsisan, ya menjadi tidak bermutu. Tapi sebagian orang dan perusahaan sudah dewasa dalam memandang Twitter. Mereka tidak lagi menganggap Twitter “mainannya anak muda yang biasanya kurang kerjaan”. Mereka memanfaatkan Twitter untuk hal-hal serius, misalnya:
- Membangun personal branding. Twitter membuat kita mudah dihubungi. Membikin kita tampil manusiawi (bisa marah, senang atau sedih). Membuat orang tahu integritas sekaligus sisi pribadi kita secara jujur. Profesi apapun di dunia ini, kalau mau eksis, harus serius menggarap personal branding.
- Alat bantu penjualan, atau mungkin sarana penjualan itu sendiri. Uang selalu datang dari sales. Runutlah satu per satu dari mana uang yang ada di dompet Anda. Pasti dari hasil menjual sesuatu! Entah jasa, entah barang. Jadi, jangan pernah sinis terhadap sales atau kegiatan penjualan. Ini sangat berharga untuk diperjuangkan dan dipelajari. Yah, kecuali bila Anda memang bisa hidup tanpa uang.
- Ajang silaturrahmi. Saat ini kita sudah sulit menyempatkan mampir ke rumah teman. Hari libur lebih baik dimanfaatkan untuk istirahat. Atau yang sudah berkeluarga, lebih baik dihabiskan dengan keluarga. Karena aktivitas kantor begitu menguras fisik dan mental. Padahal, jika Anda muslim, silaturrahmi adalah anjuran yang sangat penting. Solusinya? Yah, jika terpaksa, manfaatkan sosial media. Salah satunya Twitter.
- Ajang pergaulan. Mungkin suatu saat Anda bertemu orang penting atau teman lama. Saling tukar email, Facebook, lalu Twitter. Jawaban Anda akan menentukan kelas Anda di benak orang-orang itu: golongan gagap teknologi atau melek teknologi. Golongan katak dalam tempurung atau orang yang selalu update. Golongan jadul atau new generation.
Pasti ada alasan bagus kenapa 105 juta lebih orang sampai betah Twitteran setiap hari. Termasuk tokoh agama, pejabat, atlet, penulis top, dsb. Coba, apa mereka cukup goblok untuk membuang-buang waktu dengan Twitter? Apakah mereka sedang mabuk? Kecanduan? Tidak! Mereka hanya sedang melihat potensi Twitter ke depannya. Mungkin Anda mengeluh, “Tapi Twitterku sepi!” Memangnya kenapa? Twitter saya juga sepi. Sejak kapan punya akun Twitter atau social media lainnya diwajibkan untuk ramai? Tidak semua burung berkicau setiap saat, kawan. Saya sejak awal terbiasa nge-tweet santai. Tapi begitu otak tergelitik sesuatu, langsung deh nge-tweet. Kalau ada postingan di blog saya, langsung saja promo tautannya di Twitter. Kalau buku saya terbit, langsung saja woro-woro di Twitter. Kalau tidak ada apa-apa, langsung saja … vakum. Hehehe, ngapain juga memaksakan diri nge-tweet rutin. “Tapi aku malu, nggak ada percakapan di Twitterku. Yang ada aku ngomong sendiri. Nggak ada yang me-retweet. Nggak pernah ada yang reply mention-ku.” Sekali lagi, memangnya kenapa? Lihat kembali manfaat Twitter di atas. Kalau Twitter adalah ajang popularitas, banyak-banyakan follower, banyak-banyakan di-retweet, sudah lama saya minder. Saya punya Twitter lebih banyak untuk mendengarkan kicauan yang lain. Kicauan yang tidak bermutu tidak saya dengar. Buat apa? Kicauan yang berhubungan dengan kepentingan sayalah yang saya dengar. Tidak seperti blog atau Facebook yang menunggu diindeks oleh search engine untuk bisa dibaca oleh orang-orang yang tidak tahu Facebook dan blog Anda, konten-konten di Twitter bisa langsung nongol saat itu juga di depan siapapun juga. Ini salah satu lagi bukti kehebatan pesona Twitter. Google sampai kepincut berinvestasi untuk membuat fitur search engine-nya real time (dibahasaindonesiakan menjadi “waktu nyata”. Setelah mengembangkan blogpost search, Google lalu mengembangkan semacam tweet search. Dari pencarian waktu nyata itulah, saya jadi bisa memantau jika ada yang membicarakan, misalnya, novel saya. Detik ini dibicarakan, beberapa detik kemudian saya sudah bisa membaca pembicaraan itu (meski saya tidak diajak bicara). Kalau pembicaraan itu buruk, yah, saya akan sedih, tapi mau bagaimana lagi. Kalau lebih parah: pembicaraan itu buruk dan mengarah ke fitnah, saya bisa cepat-cepat mengonfirmasi ke Twitter orangnya (coba bayangkan seandainya saya belum punya Twitter saat itu terjadi). Untung kedua hal di atas, terutama yang kedua, belum pernah terjadi. Tapi kalau pembicaraan itu positif seperti contoh di bawah ini, siapa yang tidak senang?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H