[caption caption="Ilustrasi Foto antimajos.com"][/caption]Jakarta beberapa pekan terakhir ini –sekitar Maret hingga April- bercuaca panas berdengkang. Hilang keteduhan yang sebelumnya diguyur hujan secara rutin. Hawa panas Jakarta semakin bertambah rasanya dengan berbagai rentetan peristiwa yang menghinggapi Jakarta.
Menjelang Pilkada Jakarta tahun 2017 adalah “hawa panas” pertama yang dirasakan Jakarta dan masyarakatnya. Pilkada masih sekitar setahun lagi, namun “kompetisinya” mulai terasa. Hingar bingar calon DKI 1 membuat berisik media: cetak, elektronik, daring hingga sosial. Jakarta panas.
Saat “cuaca panas” itu masih menggelayuti Jakarta, tiba-tiba makin terasa terik saat muncul kontroversi Reklamasi Teluk Jakarta yang akan dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pro dan kontra pelaksanaan proyek itu ramai. Ada yang berdebat ilmiah, tak sedikit hanya tong kosong karena fanatisme dukung dan menolak.
Suhu panas Reklamasi Teluk Jakarta itu meningkat, memuncak. Ada indikasi korupsi disana! Lembaga antirasuah KPK membongkarnya. Operasi Tangkap Tangan KPK, Kamis (31/3/2016), berhasil mencokok yang diduga “pemain-pemain” Reklamasi Teluk Jakarta.
Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta M Sanusi ditangkap KPK bersama wiraswastawan berinisial GER pada jam 19.30 WIB usai diduga menerima uang suap sebesar Rp 1,14 miliar dari karyawan PT Agung Podomoro Land (APL) berinsial TPT. Diduga GER adalah perantara yang memberikan uang dari TPT ke Sanusi. Sedangkan TPT ditangkap terpisah di kantornya di Jakarta Barat. Selain itu BER selaku Sekretaris Direktur PT APL ikut ditangkap karena diduga terlibat menjadi perantara pemberian uang suap.
Dugaan suap ini ikut menyeret nama Predir PT APL Ariesman Widjaja dan “bos” Agung Sedayu Group Sugianto Kusuma (Aguan). Uang suap ini diduga diberikan untuk memuluskan pembahasan Raperda Rencana Zonasi dan Wilayah Pesisir Pantura serta revisi Perda Nomor 8/1995 Tentang Pelaksanaan Reklamasi dan Rencana Tata Ruang Jakarta.
KPK mulai melakukan kinerjanya memeriksa para tersangka. Ada pengakuan mengejutkan yang dilontarkan Krisna Murti sebagai pengacara tersangka Sanusi. Ia mengatakan, pertemuan kliennya dengan Presdir PT APL Ariesman Widjaja diatur oleh Sunny Tanuwidjaja. KPK segera mengambil upaya hukum dengan mencekal Aguan, Richard Halim Kusuma dan Sunny Tanuwidjaja.
Sunny? Siapa Sunny? Nama yang selama ini tak pernah muncul ke publik. Ia tak setenar politisi, pejabat eksekutif, legislatif, atau pengamat-pengamat politik kesohor yang kerap “nampang” di media. Namun pengaruhnya amat hebat (dari testimoni pengacara Sanusi): sebagai pengatur pertemuan konspirasi dugaan korupsi! Bila memang itu benar, Sunny bekerja dalam keheningan namun pengatur serangan.
Sunny merupakan mahasiswa Program Doktoral Ilmu Politik di Northern Illinois University, Amerika Serikat. Penelusuran penulis, belum ada media yang menerangkan Sunny mulai kuliah di kampus tersebut sejak kapan (mungkin Kompasianer ada yang bisa menemukan). Begitu juga dengan kampusnya menempuh studi S1 dan S2 tidak (baca: belum) terungkap.
Namun Sunny tercatat pernah sebagai peneliti politik di CSIS. Sunny bergabung di lembaga itu sejak tahun 2008 dan berhenti 20 Oktober 2012. Setelah itu, Sunny berpindah ke lembaga kajian politik lain yakni Populi Center. Di situs resmi Populi Center, namanya duduk sebagai Dewan Penasihat.
Selain di dua lembaga kajian politik tadi, Sunny juga menjadi Direktur Eksekutif Center for Democracy & Transparancy (CDT). Jabatan tersebut diembannya setelah menggantikan pimpinan sebelumnya Basuki ‘Ahok’ Tjahaja Purnama yang kala itu terpilih sebagai Wakil Gubernur Jakarta tahun 2012.