Pemerintah harus menghilangkan struktur sosial kepengemisan tersebut. Karena jika tidak dihilangkan jumlah orang yang menjadi pengemis akan bertambah banyak dan mentalitas mengemis akan membudaya.
Saya pikir kombinasi dari tindakan penegakan hukum yang tegas dengan pemberian bantuan dan pemberdayaan kemampuan pribadi terhadap para pengemis harus dilakukan. Pertama, penjarakan semua Bos Pengemis Kelas Paus untuk waktu yang lama. Jika sanksi yang ada tidak memungkinkan mereka ditahan lama, maka tahan lah mereka berkali-kali sampai mereka kapok dan mengadakan pekerjaan lain. Jika mereka sudah kapok alias bertobat, maka beri kepercayaan kepada mereka untuk mengajak para buruhnya berhenti jadi pengemis.
Kedua, tangkap semua pengemis di jalanan setiap hari dan masukkan mereka ke rumah rehabilitasi. Lalu jemputlah keluarga si pengemis yang tertangkap itu dan kumpulkan mereka sekeluarga menjadi satu di rumah rehabilitasi. Di rumah rehabilitasi, para bapak diajari berdagang, menyupir, membengkel, mengelas, bertani, memasak, mengetik, atau keterampilan lainnya. Para ibu diajari cara memelihara kesehatan keluarga, memahami karakter anak, mengatur keuangan, dan berbagai keterampilan yang bisa digunakan untuk menambah penghasilan keluarga. Para remaja diajari mengetik di komputer, menggunakan Internet, menggunakan lcd proyektor, berbahasa Inggris, dan berbagai keterampilan lain. Para anak diajak bermain, bernyanyi, membaca, menulis, dan berkata-kata yang baik. Mereka semua setiap hari harus dimotivasi untuk punya cita-cita. Mereka harus dibuat berani punya cita-cita. Mereka harus diyakinkan bahwa kalau mereka mau, mereka bisa keluar dari kemiskinannya. Mereka juga harus dimotivasi untuk membenci pekerjaannya sebagai pengemis. Singkatnya, kehidupan di rumah rehabilitasi adalah sekolah untuk membuat mereka HIJRAH, dari perilaku yang hina ke perilaku yang mulia.
Selama di rumah rehabilitasi itu pula, pemerintah harus memberikan hak-hak administrasi kependudukan mereka sebagai Warga Negara Indonesia. Jika ada pasangan yang belum punya surat nikah, maka berikanlah surat nikah. Jika ada anak yang belum punya akta lahir, maka berikanlah akta kelahiran. Jika ada yang belum punya KTP dan KK, maka berikanlah KTP dan KK dengan alamat di rumah rehabilitasi itu. Berikan mereka kartu jamkesmas agar mereka bisa berobat ke rumah sakit pemerintah di kala sakit. Buatkan pula mereka rekening tabungan di bank.
Karena hidup di rumah rehabilitasi harus dianggap seperti sedang bersekolah, maka tentu harus ada jangka waktunya. Penentuan kapan mereka ‘lulus’ dari sekolah itu adalah ketika si bapak sudah berhasil membiayai sendiri tempat tinggal dan makan untuk keluarganya. Jadi selama seminggu pertama para bapak digojlok habis untuk menguasai keterampilan teknis sesuai minatnya. Ajak mereka dengan lembut untuk memilih keterampilan teknis yang mereka suka. Jika mereka malas atau malah melawan, maka disiplinkan mereka tanpa menggunakan kekerasan. Di dalam rumah rehabilitasi tidak ada toleransi untuk kemalasan. Jika mereka masih keras kepala dengan kemalasannya, maka kirimlah mereka ke pemuka agama yang kharismatik dan tegas untuk menasehati dan mendisiplinkan mereka. Pada minggu kedua, suruhlah si bapak setiap hari keluar dari rumah rehabilitasi untuk menjemput rezekinya. Aturannya sederhana. Pekerjaan yang tidak boleh dilakukan adalah mengemis, mencuri, memeras, merampok, menipu, memalsu, melacur, dan yang semacamnya. Jangan bekali mereka dengan uang. Tetapi bekali mereka dengan barang dagangan, sehingga jika mereka lapar mereka bisa menjual barang dagangan itu untuk membeli makanan. Jika dari penjualan barang dagangan tersebut ada sisa barang atau ada uang dari keuntungan penjualan, maka sisa barang dan uang tersebut adalah milik dari si bapak. Dengan uang itu, ia diharapkan dapat menabung untuk bisa mandiri. Pada hari pertama ‘ujian praktek’ tersebut, barang dagangan yang diberikan berjumlah enam puluh, kemudian setiap hari berikutnya jumlah tersebut dikurangi satu.
Kemandirian dalam hal ini adalah kemampuan untuk menyediakan tempat tinggal dan makanan untuk keluarganya. Lokasi tempat tinggal tersebut harus berbeda dengan tempat tinggal saat ia masih menjadi pengemis. Lokasi tempat tinggalnya yang baru bisa di Provinsi yang sama dengan tempat tinggalnya yang lama, tetapi harus di kabupaten atau kota yang berbeda. Ia pun diperbolehkan untuk pulang ke kampung asalnya jika menghendaki. Intinya dimanapun ia ingin tinggal itu adalah pilihannya asalkan tidak di lokasi dan wilayah yang sama dengan saat ia menjadi pengemis. Dan apapun pilihannya itu, ia harus membiayainya sendiri dari hasil penjualan barang dagangannya atau pendapatan dari pekerjaan yang dia lakukan.
Jika sampai hari keenam puluh, si bapak belum bisa mandiri, ia dan keluarganya harus dikirim ke suatu pulau di perbatasan untuk mengolah tanah di pulau tersebut atau melakukan pekerjaan yang dapat membantu tugas para tentara di perbatasan tersebut. Jika seseorang yang sudah keluar dari rumah rehabilitasi tertangkap lagi karena mengemis, maka terhadapnya tidak perlu disekolahkan lagi, melainkan langsung dikirim ke pulau perbatasan untuk bekerja disana. Intinya, tidak ada pemenjaraan untuk Buruh Pengemis. Di dalam penjara, Buruh Pengemis dipisahkan dari keluarganya dan saya pikir itu bukan sesuatu yang baik.
Bukankah dengan rumah rehabilitasi semacam ini justru akan semakin banyak orang yang menjadi pengemis dengan harapan akan dimasukkan kesana? Untuk pertanyaan tersebut, saya pikir kita harus kembali ingat bahwa setiap orang adalah makhluk yang rasional dan membuat perhitungan-perhitungan. Ingat, sistem yang dibangun di dalam rumah rehabilitasi tidak mentolerir kemalasan dan serba disiplin. Jadi setiap orang, kecuali anak-anak, akan dikondisikan untuk bekerja keras. Setiap ‘murid’ di ‘sekolah’ itu juga tidak akan mendapat uang sepeser pun. Mereka harus berdagang atau melakukan pekerjaan jika ingin memiliki uang. Jika dalam waktu 60 (enam puluh) hari setelah ‘ujian praktek’ mereka gagal untuk mandiri, maka mereka akan dikirim ke perbatasan dan tinggal disana selamanya. Saya pikir ini bukanlah sekolah yang diinginkan oleh sebagian besar orang. Oleh karenanya, saya yakin tidak akan banyak yang cukup gila untuk menjadi pengemis, sekedar agar masuk ke rumah rehabilitasi.
Apakah ini bisa dilakukan sekarang? Terus terang saja saya pikir dalam kondisi sekarang, ide ini mustahil. Tapi mungkin kelak bisa terwujud. Semoga saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H