Ini adalah tulisan kedua dari trilogi tentang film George Wallace, Path to War, dan Frost/Nixon. Pada tulisan terdahulu saya sudah memaparkan mengenai sosok George Wallace, Gubernur Alabama yang terkenal dengan slogan rasisnya: segregation now, segregation tomorrow, segregation forever. Pada tulisan ini saya akan memaparkan film Path to War yang menempatkan Presiden Lyndon B. Johnson (LBJ) sebagai tokoh utamanya.
LBJ pertama kali menjabat sebagai Presiden menggantikan JFK yang mati terbunuh di Dallas, Texas. Setelah masa jabatan itu berakhir, LBJ mencalonkan diri lagi dan terpilih menjadi Presiden dengan suara yang sangat banyak.
JFK dan LBJ punya story dengan George Wallace. Sebagaimana yang telah saya paparkan dalam tulisan sebelumnya, politik rasisnya Wallace membuat dia terlibat konflik dengan JFK. Yang menarik untuk dicatat, walaupun idenya Wallace ini gila tetapi ternyata banyak orang Amerika, terutama yang fanatik dan ekstrem, yang mendukungnya. Pada September 1963, Wallace dengan keras kepala menolak melaksanakan perintah pengadilan pusat. Akibatnya, JFK mengirimkan Garda Nasional (tentara yang bertugas di dalam negeri) untuk mengawal pelaksanaan putusan tersebut. Eskalasi pertarungan politik antara Wallace dan Kennedy semakin meningkat saat Wallace mengumumkan akan menantang JFK dalam pemilihan presiden. Pernyataan itu disampaikan Wallace di Dallas, Texas pada bulan November 1963. Menariknya, pada bulan dan tempat yang sama, tepatnya 22 November 1963, JFK terbunuh disana. Setelah terbunuhnya JFK, Wallace harus berhadapan dengan LBJ karena LBJ lah yang akan mencalonkan diri untuk pemilihan presiden di tahun berikutnya. Dalam film Path to War ini, Frankenheimer ciamik sekali dalam menggambarkan bagaimana LBJ memojokkan dan menekan Wallace. Dan sejarah memang mencatat bahwa sejak bertemu LBJ, suara Wallace terhadap pemerintah pusat agak melunak. Adegan pertemuan antara Presiden dan Gubernur itu memberikan pesan yang sangat kuat bahwa dalam menghadapi Gubernur pembangkang Presiden harus bisa menunjukkan kekuatannya dengan cara yang cerdas, sehingga konflik di antara keduanya tidak berlanjut ke tingkat bentrok-fisik-antar-massa.
Selain cerita tentang Wallace, keseluruhan film Path to War ini berkisah tentang keterlibatan LBJ dalam perang Vietnam. Sebagai pengambil keputusan tertinggi, LBJ digambarkan dikelilingi oleh orang-orang yang secara formal bergabung dalam Dewan Penasihat Keamanan Nasional. Dewan inilah yang paling mempengaruhi keputusan-keputusan politik Presiden Amerika Serikat. Menarik untuk dicatat bahwa di dalam rapat dewan, Presiden selalu ditempatkan sebagai sosok pengambil keputusan. Tetapi pilihan yang harus diputuskan oleh Presiden disediakan oleh anggota dewan itu. Presiden biasanya memilih suara mayoritas. Apakah suara mayoritas adalah pilihan yang terbaik? Ternyata dalam film ini ditunjukkan bahwa suara mayoritas bukanlah suara yang terbaik secara kemanusiaan. Mayoritas anggota dewan itu adalah para maniak perang yang sombong yang selalu melihat dirinya bisa mengalahkan siapa saja. Oleh karena itu, usulan yang keluar dari mereka selalu berujung pada meningkatnya intensitas perang; more troops, more bombing, more dead people. Belakang hari terbukti kesombongan mereka justru menghancurkan mereka sendiri.
Anggota-anggota dewan penasehat yang menonjol di sekeliling LBJ adalah Menteri Pertahanan yang kemudian menjadi Presiden Bank Dunia, Robert Mc Namara, Profesor dari Harvard University dan Ketua Komite 303 (unit intelijennya NSC), McGeorge Bundy, Panglima Kepala Staf Gabungan, Earle Wheeler, dan Pengacara dari Washington yang ikut mengavdokasi berdirinya negara Israel dan kelak menggantikan Mc Namara sebagai Menteri Pertahanan, Clark Clifford. Di luar tim elit itu, ada orang yang juga menarik untuk dicermati, yaitu penulis pidato presiden LBJ, Richard N. Goodwin dan panglima lapangan di Vietnam, William Westmoreland.
LBJ digambarkan awalnya sangat ragu dalam memutuskan apakah akan membombardir vietnam atau tidak. Tetapi Jenderal Wheeler selalu ngompor-ngomporin. Dia bilang semakin cepat pengeboman, maka perang akan semakin cepat selesai. Clifford yang merupakan sahabat dekat LBJ pada awalnya juga ragu dengan kebijakan pengeboman karena menurut dia dengan kebijakan itu pun Wheeler tidak bisa memastikan kemenangan. Tetapi seiring waktu ternyata vietnam utara ini tidak mudah ditaklukkan dan semakin banyak tentara Amerika yang mati. Wheeler pun makin gencar mendesak presiden untuk mengirimkan tentara lebih banyak dan mengebom lebih sering. Desakannya didukung oleh McNamara dan Bundy. Clifford pun kemudian ikut mendukung ide pengeboman itu. Pada akhirnya, LBJ pun menyetujuinya karena hampir semua penasehatnya menyarankan untuk menambah pasukan dan meningkatkan intensitas pengeboman.
Ternyata, pasukan lapangan yang dikomandoi Westmoreland tidak jua memperoleh kemenangan. Semakin banyak tentara Amerika yang mati di hutan-hutan vietnam. Dan di dalam negeri, LBJ hampir setiap hari didemo oleh kaum muda yang menjulukinya sebagai: pembunuh bayi. Yel-yel demonstran yang paling terkenal saat itu adalah sebagai berikut: hey hey LBJ how many kids did you kill today? (hey hey LBJ berapa banyak anak yang kau bunuh hari ini?)
Dalam situasi yang penuh tekanan seperti itu dan menurun drastisnya popularitas LBJ, ternyata orang-orang dekat yang ada di ring 1 satu persatu mundur dari gelanggang. Salah seorang yang mundur adalah sang penulis pidato, Richard N. Goodwin. Dia adalah orang yang mempopulerkan istilah The Great Society, suatu program populis LBJ di bidang kesejahteraan sosial. Dan dia pula yang turut mempropagandakan perlunya Amerika terjun berperang di Vietnam melalui tulisan-tulisannya.
Orang-orang yang dulunya menyarankan penambahan pasukan dan pengeboman satu persatu menjadi tidak yakin dengan kebijakan itu setelah menyaksikan puluhan ribu tentara Amerika tewas. Dan mereka semua menyalahkan kegagalan itu kepada presiden sebagai pengambil keputusan, kepada satu orang yaitu: LBJ.
Itulah watak khas para akademisi, profesional, dan politikus Amerika yang bernaung di sekitar lembaga kepresidenan. Mereka cepat merapat ke orang populer dan secepat kilat meninggalkannya jika orang itu tidak lagi populer. Mereka fanatik dengan statistik-statistiknya, mesin-mesinnya, dan ke-rasionalitas-annya. Mereka memang pintar, tetapi mereka selalu merasa yang paling benar; padahal tidak semua analisis mereka itu benar. Akibatnya mereka jadi sombong dan meremehkan negara lain, terutama dari Asia. Tetapi ketika terbukti bahwa semua analisisnya itu salah besar, mereka tidak mau mengakui kesalahannya. Mereka menimpakan itu kepada presiden karena menganggap bahwa mereka hanya menyarankan dan presiden lah yang memutuskan. Itulah mereka. Para pengecut dan orang sombong yang dikalangan tertentu dipuja-puji sebagai think tank atau profesional.
LBJ sendiri pada akhirnya tidak kuasa melawan suara hatinya. Dia tidak tahan menyaksikan kematian puluhan ribu tentara Amerika di Vietnam. Dia benci dengan para penasehatnya yang awalnya mendorong-dorong dia untuk meningkatkan eskalasi perang di Vietnam, tetapi belakangan meninggalkannya atau menyangkalnya. Akhirnya, dia memutuskan untuk tidak mencalonkan diri lagi di pemilu berikutnya dan menyerukan perdamaian di Vietnam. LBJ pun menangis saat berpidato di siaran tivi mengenai itu. Dan dengan keputusan itu, berakhirlah karir politik LBJ di Amerika.
Film ini memberi pelajaran bahwa seorang Presiden yang amat pintar sekalipun bisa mengambil keputusan-keputusan yang amat jahat. Seorang presiden yang sepanjang karirnya berjuang mengedepankan kemanusiaan, bisa mengambil keputusan untuk membunuh jutaan orang di negara lain dan mengorbankan puluhan ribu pemudanya sendiri. Mengapa demikian? Karena akses informasi ke presiden dibatasi dan karena dia memilih orang-orang yang sombong sebagai penasehatnya. Jadi siapapun dari anda para pembaca yang kelak akan menjadi presiden ingatlah kisah tentang LBJ ini. Jangan ambil orang-orang sombong sebagai penasehat anda dan ingatlah bahwa suara mayoritas belum tentu suara yang benar. Tundukkan otak dan hatimu hanya kepada Tuhan semata. Selamat berpolitik wahai calon presiden.