Mohon tunggu...
Brian Prastyo
Brian Prastyo Mohon Tunggu... -

Tukang Ketik. Tinggal di perbatasan Jakarta dan Depok.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Anarki di RI: untuk Menteri M. Nuh

26 Mei 2010   23:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:56 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kata Mendiknas M. Nuh, kementeriannya sedang menggodok konsep pendidikan tentang pembangunan karakter bangsa untuk menyikapi maraknya aksi anarki di Indonesia. Konon pendidikan yang beliau maksud salah satu contohnya adalah P4 (Pedoman Penghayatan Pengalaman Pancasila) yang sekarang sudah dihapuskan. Secara singkat saya sampaikan pendapat saya bahwa: solusi untuk membangun masyarakat yang jauh dari aksi anarki bukan dengan membuat mata ajar baru, tetapi dengan memperbaiki sistem hukum yang sudah rusak ini.

Saya meyakini bahwa orang bertindak anarkis karena ia tidak takut dengan sanksi hukum. Orang tidak takut dengan sanksi hukum, karena sistem hukumnya rusak. Dan sistem hukum ini rusak karena Presiden masih berkompromi dengan mereka yang “di atas” hukum.

Mengapa fokus saya adalah kepada hukum? Karena Indonesia menyatakan diri sebagai negara hukum yang demokratis. Selain itu, karena hukum hidup lebih lama daripada orang dan keberlakuannya dapat dipaksakan dengan pasukan bersenjata. Orang bisa ikut kursus atau penataran ribuan kali tetapi perilakunya tidak berubah, karena materi kursus tidak bisa dipaksakan untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Karena berbagai keunikan hukum itulah, maka hukum pasti dapat mengatur perilaku dan mengubah karakter orang.

Negara hukum bukanlah bentuk negara yang paling ideal. Karena semuanya tergantung kepada manusia yang menjalankannya. Contoh negara hukum yang membawa bencana adalah negara Jerman saat diperintah oleh Hitler. Peraturan negara di zaman Hitler benar-benar berkedudukan sangat kuat dan dijalankan dengan sungguh-sungguh. Tetapi isinya sungguh mengerikan karena peraturan negara itu justru menjadi dasar hukum untuk melakukan pembunuhan massal dan penyerangan terhadap negara-negara tetangga Jerman. Dan gilanya, orang-orang yang melakukan kejahatan-kejahatan tersebut tidak merasa bersalah karena mereka menganggap perbuatannya dilakukan atas nama hukum dan atas alasan melaksanakan peraturan negara. Ini sebuah kegilaan dalam cara berpikir, tetapi kenyataannya sungguh terjadi di negeri para filsuf itu.

Amerika Serikat juga bukan negara hukum yang ideal. Ia memposisikan diri sebagai polisi dunia dan penjaga perdamaian, tetapi kenyataannya ia banyak menebar bencana ke negara-negara lain. Tetapi, saya pikir sistem hukum Amerika Serikat memang cukup sukses dalam membuat situasi dalam negerinya berjalan stabil dan bebas huru hara, walaupun kebebasan berekspresi sangat tinggi dan tidak ada larangan kepemilikan senjata disana. Dan itu tampaknya dapat terwujud karena politik hukum yang diterapkan di Amerika Serikat pesannya sangat mudah dipahami oleh siapa saja yang ada di dalam negara tersebut, yaitu (1) hukum itu harus seimbang; ia harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat dan sekaligus tidak melahirkan beban yang berlebihan bagi individu, (2) ketika suatu hukum sudah ditetapkan maka hukum itu harus dilaksanakan tanpa kompromi dan jika perlu dipaksakan dengan kekuatan bersenjata, (3) selama orang tidak melakukan tindak kekerasan maka ia bebas dalam berekspresi dan berpendapat, dan (4) jika orang melakukan pelanggaran hukum maka ia akan mendapat sanksi yang berat. Dalam realitanya, jika ada aksi-aksi yang menjurus kepada kekerasan, maka pemerintah Amerika Serikat biasanya bertindak sangat agresif. Para penegak hukum di Amerika Serikat juga seolah saling bersaing untuk menangkap dan menjatuhi hukuman yang seberat-beratnya kepada para pelanggar hukum. Mereka tidak segan-segan menghabisi mafia, bandar narkoba, koruptor, dan apalagi para pengemplang pajak besar. Para penjahat kelas kakap yang tertangkap kemudian dijatuhi hukuman penjara sampai puluhan tahun lamanya dan di penjara para sipir memastikan bahwa kebebasan dari para penjahat itu benar-benar dihabisi. Sistem penegakan hukum yang seperti itulah yang membuat siapapun enggan bertindak anarkis di wilayah domestik Amerika Serikat. Karena kalau tindakan anarkis itu dilakukan, sistem hukum di Amerika Serikat menyediakan dua pilihan yang sangat tegas: mati saat penggerebekan atau masuk penjara dalam waktu yang sangat lama.

Sekarang bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia menyatakan diri sebagai negara hukum yang demokratis. Tetapi faktanya sistem hukum kita kacau balau. Peraturan bejibun, tapi semua merasa bebas membuat tafsiran sehingga tidak ada kepastian normatif. Polisi, jaksa, hakim, dan pengacara yang diberi amanat sebagai penegak hukum, bukannya membersihkan lingkungan dari para penjahat tetapi justru banyak yang bersekongkol untuk melindungi yang jahat. Orang-orang sipil turun ke jalan membawa senjata tetapi tidak ditindak secara agresif, sehingga jangankan ormas yang anggotanya rutin latihan semi militer, pelajar SMP pun tidak takut melakukan tawuran di jalan sambil membawa sajam. Backing pasukan bersenjata terhadap kepentingan bisnis para pengusaha terjadi dimana-mana, sehingga mereka lebih mirip preman berseragam daripada abdi masyarakat. Lalu jika seseorang apes tertangkap, maka dengan sejumlah uang dia bisa membeli vonis, membeli remisi, membeli fasilitas di penjara, dan bahkan membeli kebebasannya walaupun secara resmi statusnya adalah terpidana.

Dengan kondisi sistem hukum seperti itu, pemerintah hanya menghasilkan generasi bangsa yang berkarakter preman, sa’ enak’e dewe (seenaknya saja), sabodo teing (tidak pedulian), semua bisa diatur, dan aji mumpung.

Jika Mendiknas jadi membuat materi ajar tentang karakter itu, apakah akan menjadi solusi yang tepat? Saya pikir enggak mungkin lah.

Semua karakter itu sudah menjadi paradigma yang mengakar sampai dalam hingga ke alam bawah sadar manusia-manusia Indonesia. Akibatnya saking sudah terbiasanya dengan itu semua, maka banyak yang merasa itu bukan kesalahan. Justru orang-orang yang ingin hidup lurus dan bersih malah dimusuhi dan karirnya dihambat. Memaksa mereka ikut kursus serupa P4 jutaan kali pasti tidak akan membuat paradigma yang sakit itu berubah, karena kursus itu tidak bisa memaksa mereka melakukan ini dan itu.

Satu-satunya cara untuk mengubah masyarakat sakit seperti ini adalah dengan merevolusi sistem hukum. Hal itu tidak dimulai dengan membuat aturan-aturan baru, tetapi dengan menempatkan orang-orang yang lurus, berani, dan tidak mau kompromi dengan para penjahat. Dan tanggungjawab untuk melakukan itu bukanlah ada pada semua orang, tetapi terletak semata-mata pada Presiden. Kenapa demikian? Karena Presiden adalah orang yang paling berkuasa di negara ini. Dia pasti bisa memilih orang-orang untuk memimpin gerakan pemberantasan korupsi di semua instansi hukum yang terkait.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun