Mohon tunggu...
Brian Prastyo
Brian Prastyo Mohon Tunggu... -

Tukang Ketik. Tinggal di perbatasan Jakarta dan Depok.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Show Partai Demokrat: Fact or Fiction

23 Mei 2010   22:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:01 719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_148375" align="alignright" width="300" caption="Pemilihan KEtua Partai Demokrat/Admin (Kompas.com)"][/caption] Analisis Pak Pray sangat jitu. Anas Urbaningrum terbukti menjadi Ketua Umum Partai Demokrat untuk periode 2010-2015. Ini fakta atau fiksi ya? Bagi saya, Kongres PD ini adalah (hype)reality show yang keren. Skenarionya bagus, bintangnya berbakat, figurannya nurut, tukang dekor dan kostumnya jenius, para pemain yang memberikan sound effect berupa suara sumbang ke “lawan” bekerjanya sangat ciamik, sorotan kamera dan permainan kata para “jurnalis” (baca: publicist)-nya sangat lihai merekam adegan demi adegan, produsernya mengalirkan duit yang teramat banyak, sutradaranya cerdas menjaga improvisasi pemain agar tidak keluar dari plot, dan penontonnya percaya bahwa tontonan ini adalah reality show. Lengkaplah sudah. Akhirnya saya punya contoh di Indonesia bahwa politic is a show business. Partai Demokrat ini ibaratnya adalah suatu padepokan silat. Mahaguru yang paling sakti adalah dia yang badannya paling besar dan ilmunya sangat tinggi. Sang Mahaguru ini sedang menjadi penguasa di suatu negeri, maka agar tidak dianggap vested interest atau melakukan intervensi, di padepokan tersebut ia secara resmi hanya menjadi penasehat saja padahal segala urusan penting di padepokan tersebut ia yang memutuskan. Sang Mahaguru sangat risau karena padepokan lain di negerinya masih mempraktekkan “kejahiliyahan” dalam berpolitik, misalnya: bagi-bagi-“gizi” atau demokrasi-aklamasi-anti-regenerasi. Kerisauan itu lahir karena ia sangat mencintai negerinya. Ia pernah menyaksikan bagaimana negerinya rusak karena dikuasai oleh padepokan-padepokan beraliran “jahiliyah” itu. Karena itu, ia bertekad dengan segala upaya untuk memberikan “pendidikan-berpolitik-yang-benar” kepada rakyat di negerinya. Kesempatan untuk memberikan “pendidikan-berpolitik-yang-benar” itu datang saat waktu pergantian pengurus padepokan tiba. Sebagai padepokan yang wilayahnya seluruh nusantara, maka calon pengurus padepokan harus dapat merepresentasikan 3 kawasan; sumatera, jawa, dan Indonesia timur. Kemudian, orang yang akan disuruhnya bertarung harus memiliki kaitan-kultural-emosional dengan ikon dari padepokan lain yang menjadi pesaingnya. Karena itu, penting bagi dia untuk memilih petarung yang berasal dari palembang, blitar, dan makasar. Lalu ia ingin menunjukkan bahwa politisi-masa-depan itu adalah orang yang intelektual. Secara implisit ia ingin menyentil pengurus padepokan lainnya bahwa politik berbasis massa yang mengandalkan hubungan-darah itu primitif dan ketinggalan zaman. Maka dipilihlah para petarungnya itu dari mereka yang punya gelar doktor. Kemudian ditetapkanlah pangeran blitar sebagai pengurus padepokan. Ia tidak menyampaikan itu secara langsung karena dia ingin melihat ketangguhan bertarungnya si pangeran. Maka ia utuslah sang putra mahkota dan para ksatria dari generasi 73 untuk berada dalam barisan pangeran makasar dan ia alirkan dukungan logistik laksana air bah ke pangeran makasar ini. Tujuannya satu: menciptakan teror mental maha dahsyat bagi sang pangeran blitar. Adapun terhadap pangeran palembang diberi jatah logistik yang melimpah pula tetapi disuruhnya untuk berimprovisasi. Sayangnya dalam perjalanannya pangeran palembang ini kurang improvisasi, sehingga beritanya jarang muncul. Maka diputarlah sound effect berupa nyanyian sumbang yang menuduh pangeran palembang melancarkan aksi money-politic. Taktik itu berhasil dan pangeran palembang mulai lebih agresif berimprovisasi. Sebaliknya, si pangeran blitar tidak diberi jatah logistik yang banyak, akses ke media massa ditutup, dan tidak diberi orang-orang yang berada dalam lingkar keluarganya atau korpsnya. Dia benar-benar ingin melihat kesanggupan sang pangeran blitar berselancar di atas ombak intrik yang ganas. Sampailah kemudian pada hari pemilihan pengurus padepokan yang sesungguhnya. Pada hari itu, skenarionya sederhana saja. Pangeran makasar akan kalah di set pertama dan setelah itu si pangeran makasar itu harus segera mengumumkan kekalahannya dan mengucapkan selamat kepada si pemenang di tivi. Ada dua pendidikan-berpolitik yang hendak dia ajarkan lewat adegan itu. Pertama, duit yang banyak dan gempuran media massa bukan jaminan kemenangan. Kedua, kekalahan dalam berpolitik harus disikapi secara damai dan gentle. Dengan mengajarkan ini, maka ke dalam ia hendak membangun mental kawula padepokannya untuk tidak takut dan selalu punya akal dalam menghadapi lawan-lawannya dari padepokan lain yang dalam pemilu 2014 nanti kemungkinan besar akan memiliki stok logistik darat dan udara yang maha dahsyat. Sedangkan keluar, ia membuat standar perilaku untuk para lawan dari padepokan yang lain mengenai cara menyikapi kekalahan dalam berpolitik. Jika lawan-lawannya kelak bersikap di bawah standar, maka ia akan memainkan sound effect berupa nada cemoohan yang panjang dan menjengkelkan. Episode pemilihan ini kemudian akan diakhiri dengan terpilihnya pangeran blitar melalui suatu pemungutan suara yang ketat dengan pangeran palembang. Perfect bandung-wood story. Bagi saya, sesungguhnya pendidikan-berpolitik yang hendak ia ajarkan melalui hype-reality show ini sangat baik. Dalam bayangan saya, jika saja para elit di padepokan lain punya sedikit saja semangat bersaing secara intelek, maka ke depan kita mungkin akan menyaksikan pertarungan politik yang cerdas nan damai. Sayangnya ada 2 hal yang justru di mata saya malah membuat gagasan pendidikan-berpolitik ini hanyalah omong kosong semata. Pertama, penempatan anaknya di struktur inti pengurus padepokan. Kedua, kejelasan sumber dana yang membiayai logistik kegiatan ini. Dibandingkan ketiga petarung itu, kelebihan anaknya adalah terlahir sebagai anaknya dia. Selain itu tidak ada kelebihan anaknya yang jelas. Dari sisi jenjang pendidikan, anaknya belum doktor. Dari sisi karya tulisan, karya anaknya sulit ditemukan, sedangkan ketiga pangeran itu sudah membuat buku. Dari sisi kepemimpinan, anaknya belum punya catatan kesuksesan yang penting di organisasi apapun. SIngkatnya, dengan eksisnya si anak yang belum punya prestasi apa-apa dan bahkan kemampuan public speaking-nya pun belum dikenal, maka sesungguhnya niat memberikan pendidikan-berpolitik melalui kongres ini menjadi pepesan kosong semata. Kemudian berkaitan dengan duit, sampai sekarang masih belum jelas juga sumbernya. Tapi dugaan saya duit itu bukan berasal dari kantong pribadi. Sebab kalau dari kantong pribadi pasti sayang untuk dihambur-hamburin buat ngiklanin si pangeran berkumis. Terakhir sekali lagi saya hendak mengatakan bahwa pemilihan ketua umum Partai Demokrat ini adalah suatu show yang sangat bagus. Adegan-adegannya sangat-sangat menghibur dan pesan di dalam ceritanya pun sangat baik. Namun demikian, agar show ini tidak jadi omong kosong belaka, maka ke depan sang putra mahkota harus dibiasakan untuk public-speaking. Saya pikir kita perlu tau bagaimana cara dia menyampaikan pendapat dan yang lebih penting lagi mengetahui isi otaknya. Sudah bosan kita disuguhi tampilan wajah dengan bibir terkatup dan sorot mata seorang pemarah terus menerus. Tampil cerdas lah seperti para pangeran dari palembang, makasar, dan blitar yang sudah bermain ciamik dalam (hype)reality show ini. Kemudian hal yang penting juga, umumkan dong rincian dana kegiatannya. Karena sungguh suatu hal yang munafik, ketika semua gaya, dekor, kostum, liputan media, dan bahkan teknik mengucapkan selamat diimpor dari Amerika, tetapi transparansi pelaporan dana kegiatan a la Amerika tidak ikut diimpor.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun