Mohon tunggu...
Brian Prastyo
Brian Prastyo Mohon Tunggu... -

Tukang Ketik. Tinggal di perbatasan Jakarta dan Depok.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politikus Menyewa Media: Fact or Fiction?

20 Mei 2010   09:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:05 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Cerita ini adalah tentang para politikus Partai Demokrat dan situs berita elektronik terbesar di Indonesia, detik.com.

Jika kita membuka detik.com dari piranti mobile kita, maka ada satu format standar yang sudah pasti akan muncul, yaitu ada 8 (delapan) buah berita yang terdapat dalam kolom utamanya. Berita teratas pasti memuat kabar tentang suatu peristiwa yang menurut redaktur detik.com paling seksi dan paling update; yang kira-kira adalah: berita politik, berita bencana alam, dan status fb atau kicauan di twitter yang ramai. Lalu berita-berita terbawah biasanya berjenis feature dan bukan menyangkut peristiwa-peristiwa politik.

Seingat saya, setiap urut-urutan berita itu selama ini tidak mengusung topik konten tertentu secara tetap. Tetapi sejak Andi Malarangeng dan Anas Urbaningrum “telah dimunculkan” sebagai para calon ketua umum Partai Demokrat, sampai tulisan ini saya upload, Kamis 20 Mei 2010, berita pada urutan ketiga pasti selalu memuji-muji Andi Malarangeng dan berita pada urutan keempat pasti selalu memuji-muji Anas Urbaningrum. Kebetulan kah? Ah rasanya tidak mungkin. Kolom di urutan ketiga dan keempat itu kemungkinan besar sudah di-reserved dan entah kenapa, saya punya dugaan kuat yang melakukan reservasi itu sebenarnya pihaknya sama. Tetapi lihainya, tidak pernah ada kata “advertorial” pada berita ketiga dan keempat tersebut.

Apakah dengan memberikan “ruang publik"nya digunakan untuk kegiatan politik praktis berarti detik.com pro kepada Partai Demokrat? Saya pikir, bisa iya bisa juga tidak. Jika kita bisa menemukan adanya hubungan kepemilikan atau kebersamaan dalam kepengurusan detik.com dan Partai Demokrat, maka saya pikir transaksi yang terjadi antara keduanya adalah transaksi politik dan bukan semata-mata bisnis. Tetapi jika hubungan itu tidak ditemukan, maka kemungkinan transaksi yang terjalin hanyalah bisnis semata. Wallahualam.

Tetapi kenapa detik.com mau menjalankan bisnis seperti itu? Bukankah detik.com itu pers yang konon fungsinya adalah sebagai alat kontrol sosial? Apakah detik.com nanti bisa melakukan kontrol sosial terhadap rekanan bisnis yang memberinya order? Apakah setelah kongres Partai Demokrat nanti usai, detik.com rela memberikan slot berita di urutan ketiga dan keempat itu kepada misalnya, lembaga-lembaga aktifis anti korupsi seperti icw (Indonesian Corruption Watch) atau mappi (Masyarakat Pemantau Peradilan), walaupun kedua lembaga tersebut tidak membayar blocking fee-nya?

Ah sudahlah…lebih baik saya cukupkan saja pertanyaan-pertanyaan itu. Nanti yang punya detik.com tersinggung dengan kebawelan saya ini. Intinya saya ingin membagi keyakinan saya kepada anda semua bahwa: pers tidak pernah netral, pers pasti memihak, dan pers pasti memihak yang menggaji mereka atau yang membayar mereka, at least selama jangka waktu kontrak blocking news nya berlangsung. *tanya kenapa TV One lebih memilih menggunakan istilah Lumpur Sidoarjo daripada Lumpur Lapindo?* Saya mencintai dunia pers, tetapi saya tidak suka dengan orang-orang pers yang selalu bicara seolah-olah pers itu murni, imparsial, dan bebas dari kepentingan politik. Bicara jujur saja lah, itu lebih baik.

*Btw, terbersit sedikit di kepala saya kenapa para politikus partai demokrat perlu menyewa dua kolom berita di detik.com. Dugaan saya, mereka ingin membangun suatu citra bahwa Partai Demokrat adalah partai yang demokratis -sesuai namanya- dimana para kandidat ketua umum saling bersaing secara terbuka. Selama episode persaingan itu, kejadiannya harus dibuat sangat dramatis, menegangkan, dan menarik, sehingga kesannya tidak bohong-bohongan. Padahal, dugaan saya, telah ada konsensus siapa yang akan jadi. Pada akhirnya nanti, paling-paling kongres akan ditutup dengan cara aklamasi atau kalaupun ada voting maka orang yang menang tetap dia yang telah ditentukan dalam konsensus tersebut. Lalu kandidat yang kalah akan mengucapkan selamat secara terbuka. Kandidat yang menang akan memuji-muji yang kalah tersebut dan berorasi mengenai seperti itulah contoh dari yang namanya demokrasi. Merekapun akan berpelukan dan kemungkinan besar dilanjutkan cipika cipiki. Terus mereka foto bareng sambil bergandengan tangan dan kemudian bersama-sama akan memuja-muja dan mengkultuskan SBY. Dan drama pun selesai, kontrak selesai, dan detik.com pun akan mencari rekanan bisnis baru yang mau menyewa kolom ketiga dan keempatnya.*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun