Mohon tunggu...
Bambang Pribadi
Bambang Pribadi Mohon Tunggu... profesional -

B. Pribadi (Bambang Pribadi) sering dipanggil BP saja, pernah belajar ilmu kehutanan dan ekonomi, selain sebagai penulis dan editor, ia juga pelukis, perancang grafis, karikaturis, ilustrator, pernah menjadi dalang wayang kulit gagrak Ngayogyakarta…. www.bambangpribadi.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Yang Ringan #3 Idola

6 Juli 2010   06:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:03 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Ayah saya yang guru dan sering berpindah-tugas membuat saya pernah tinggal di beberapa kota. Setelah lahir di Bandung, saya pernah hadir di Bengkulu, Ambarawa, Jakarta. Kemudian karena kepentingan sekolah saya pernah tinggal di Magelang dan Yogyakarta. Paling lama saya tinggal di Jakarta. Sebagian masa kecil saya ada di Ibukota. Tetapi, Jakarta yang kukenal dulu bukan seperti yang dikenal anak-anak sebaya saya. Sebab, semua itu gara-gara ayah saya. Saya lebih suka nonton wayang kulit ketimbang nonton bioskop.

Sejak kecil saya terbiasa diajak nonton wayang kulit oleh ayah saya, di Jakarta. Waktu saya masih SD (sekitar 1974-an) ayah menghadiahi saya puluhan wayang kulit beneran. Beneran maksudnya wayang kulit asli ukuran standard, bukan mainan. Belinya di Blok M, di sekitar dekat-dekat Gramedia Melawai. Dulu di situ ada semacam toko barang-barang antik. Selain itu, saya dibuatkan juga kelir kecil lengkap dengan batang pisang dan dipasang di ruang depan. Lalu, setiap malam minggu radio kami tak pernah berhenti mendengungkan siaran wayang kulit. Jadilah saya anak kecil penggemar wayang kulit. Koleksi kaset Koes Ploes yang booming pada waktu itu kalah banyak dengan koleksi kaset wayang kulit yang dibeli ayah. Saya jatuh kagum pada wayang kulit.

Idola saya pada waktu kecil, Gatotkaca. Ketika nonton wayang orang dengan lakon “Gatotkaca Gugur”, saya menangis, tersedu sedan, sedih sekali. Usia beranjak, idola saya berubah. Kalau bukan Antasena, adik bungsu Gatotkaca yang bengal tapi benar itu, ya saudara sepupunya, anak Arjuna, si Wisanggeni. Usia bertambah lagi, idola berganti lagi. Setelah Kresna, lalu Bima dengan pengalaman spiritualnya, lalu Semar manusia dewa yang jadi orang biasa banget. Usia beranjak lagi dan sekarang tak ada idola lagi.

Pakde saya--kakak ayah saya, seorang pelukis naturalis. Walau tak begitu dikenal, lukisannya sudah banyak sekali. Beberapanya ada di gedung Gua Maria Kerep, Ambarawa, yaitu beberapa lukisan sejarah tentang lokasi ziarah umat Katolik itu.

Dua orangtua yang kusebut di atas adalah pamandu bakat saya. Wayang kulit dan lukisan naturalis sudah dihadirkan pada saat saya kecil. Dari pengalaman itu saya menelurkan sebuah hipotesa tentang rahasia bakat, rahasia talenta.

Sumber bakat adalah kekaguman. Saya kagum pada wayang kulit dan lukisan naturalis. Saya kagum pada wayang-wayang kulit itu dan pada setiap pagelarannya. Saya kagum ketika pakde saya bercerita tentang lukisan-lukisan Rembrandt. Rasa kagum akan lukisan-lukisan pakde saya yang seolah-olah hidup itu membuat saya ingin bisa melukis. (Syukurlah saya sudah bisa melukis.)

Rasa kagum yang terus-menerus memunculkan hasrat yang menggebu-gebu atau passion. Hasrat yang kuat ini membutakan mata bahwa sebenarnya saya tak bisa berbahasa Jawa. Secara tak disadari saya telah belajar bahasa Jawa dengan mendengarkan kaset-kaset wayang kulit dan pergelaran wayang kulit yang saya tonton maupun saya dengarkan dari radio. Saya tak peduli dan saya kelak harus bisa mendalang. (Syukurlah saya sudah bisa mendalang.)

Hasratlah yang membuat orang jadi berbakat. Hasrat untuk terus-menerus belajar dan melatih diri. Jika bakat ini terus-menerus dilatih maka munculah prestasi. Dan, prestasi akan dihargai. Harganya bisa sangat mahal.

Jadi, hipotesa saya adalah semua orang sebenarnya punya bakat. Orang yang tak menemukan bakatnya disebabkan karena mereka tak bisa membuat dirinya terkagum-kagum. Semua hal dianggapnya biasa saja. Maka, kagumlah jika kita ingin punya bakat. Semakin sulit kita kagum, maka jangan harap bakat akan ditemukan.

Di usia saya sekarang, saya sedang masih jatuh kagum pada “Tetralogi Laskar Pelangi”. Saya pun tak malu untuk kagum pada “Marmut Merah Jambu”. Buku-buku itu masih saya baca berulang kali, agar saya boleh punya bakat juga menjadi penulis novel. Hipotesa lain lagi, bakat-bakat bisa muncul di sepanjang usia kita, jika kita berani terkagum-kagum (baca: berpikir positif). Selamat menemukan bakat baru Anda pada usia berapa pun sekarang..... ***

Kagum --> Hasrat --> Bakat --> Prestasi --> Harga

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun