[caption id="attachment_206105" align="aligncenter" width="300" caption="terlalu cepat (dok.pribadi)"][/caption]
Lelaki muda itu baru saja bercerita. Secara menggebu ia bercerita tentang sebuah cinta. Cinta yang baru saja didapatkannya itu terpampang di bola-bola matanya. Kukira ia berkata jujurkali ini. Sebab, matanya menjadi indah.
“Tinggalnya di Kemayoran, Pak."
“Jauh ya?” balasku.
“Makin jauh makin baik,” katanya.
“Pemuja kerinduan juga rupanya, ya?” tanyaku.
“Suka banget, Pak!” jawabnya.
“Keluarganya?” tanyaku lagi.
“Sudah senang dengan saya. Saya diterima,” ungkapnya.
“Terus tunggu apa lagi?” tanyaku.
“Maksud Bapak?”
“Siapkan setangkai mawar, sebutir cincin, dan lamarlah dia,” saranku.
Lelaki itu tak segera merespon saranku. Matanya bimbang. Raut wajahnya gelisah.
“Maaf, saran saya terlalu cepat?” tanyaku merasa bersalah.
“Oh, tidak, Pak. Sayalah yang terlalu cepat menikah,” jawabnya.***
27-07-2010 bp
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H