Saya rakyat biasa—juga orang desa—, tak pernah masuk istana, tak tahu "isi" istana itu. Tentang bagaimana “isi” istana, sedikitnya ada dua orang yang telah mengisahkannya pada saya. Orang pertama, tentu saja Wisnu Nugroho yang wartawan itu. Buku pertamanya dari tetralogi “Pak Beye dan Istananya” telah saya baca. Saya melongo membaca buku itu. Informasi yang tertulis dalam buku itu tak pernah terbayangkan di kepala saya sebelumnya.
Orang keduanya saya jumpai secara tak sengaja kurang-lebih hampir setahun yang lalu. Namanya pun saya tak ingat. Ia bukan wartawan, tetapi bagi saya ia pun pewarta. Yang diwartakannya membuat saya tak kalah melongo. Sebab, apa yang dicelotehkannya juga tak pernah saya banyangkan sebelumnya.
Saya jumpai dia karena suara dentuman palu yang dilakukannya di ruko sebelah sangat berisik bukan main. Orang itu sedang membuat beberapa meja baru. Ia mengatakan, enak kerja di sini daripada menjadi tukang di istana.
“Lho, kenapa, Pak?”
“Banyak nomboknya! Banyak orang minta ditraktir ini-itu.... Apa mereka tidak tahu kalau saya ini miskin, hanya tukang, bukan bos....”
“Oh, gitu ya, Pak?”
“Petugas pembawa kunci ruangan yang akan saya tukangi saja tak membukakan pintu jika saya tak memberinya uang!”
“Itu di istana, begitu itu, Pak?” saya bertanya dengan gaya tak sengaja melongo seheran-herannya. Waktu itu saya berpikir, di dalam istana saja begitu, bagaimana di tempat lain tidak lebih begitu.
“Lha, inggih to, Mas, Mas...!” katanya tak kalah sungguh-sungguh sambil mengepulkan asap rokok. Bul bul.... Lalu ia menyeruput segelas kopi hangat. Ahhhhhhhhhhhhh..... Saya memang melihat kebahagiaan di wajahnya pada saat ia bekerja sebagai tukang di ruko sebelah.
Sebenarnya Pak Tukang ini banyak bercerita. Tetapi, karena di tubuh saya tak mengalir darah wartawan, saya tak pernah mencatat sejeli Wisnu Nugroho. Hanya itu yang saya ingat. Entah benar entah tidak tentang apa yang dikatakan Pak Tukang itu saya tidak tahu. Saya juga tak bertanya, kapan ia menukang di istana, maksudnya pada periode presiden siapa.
Saya pun tidak tahu apakah Wisnu Nugroho sempat juga mewawancarai para tukang-tukang di istana itu. Namun, saya kira jika melihat kejeliannya memotret kumpulan bungkusan alas kaki, saya menduga ia sudah pernah bertemu tukang-tukang itu. Lalu mengapa ia tak menulis soal ini? Saya menduga lagi, wartawan di era reformasi pun masih juga belum sepenuhnya merdeka untuk menulis yang juga penting.
Kapan bertugas lagi di istana, Mas Inu?***
Salam merdeka...!
15-07-2010 bp
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H